SANG PUTRI 07

SANG PUTRI   07

(Tien Kumalasari)

 

Handoko sama sekali tak melihat kedatangan Palupi, ia bertumpu pada bahu Mirah, sampai duduk diatas kursi didepan meja makan.

Bintang yang merasa bersalah menatap bapaknya tak berkedip.

“Sakit bapak?” tanyanya takut-takut.

“Tidak Bintang, tidak sakit, ayo kita makan, nasi gorengnya sudah siap.”

Mirah tersenyum sambil mengangkat Bintang dan mendudukkannya dikursi.

“Bapak tidak apa-apa mas Bintang.. ayo makan.”

“Iya.. hm.. bau nasi gorengnya sedap sekali lho..” kata Handoko sambil menyendok nasi gorengnya.

“Mas Bintang mau disuapi ?”

“Tidak, Bintang sudah besar.. makan sendiri saja.”

“Bagus, anak bapak memang pintar. Ayo... berlomba sama bapak.. siapa ya nanti yang habis duluan...” kata Handoko menyemangati Bintang.

“Bintangpun segera menyuap makanannya.”

“Enakkah ?”

“Enak bapak..”

“Hm, pasti nanti Bintang jadi juaranya.”

“Iya.. “

“Mirah, sebaiknya kamu juga makan, supaya nanti bisa segera berangkat.”

“Iya bapak, nanti saja, setelah mas Bintang selesai makan. Mirah bisa makan cepat.”

“Tidak boleh makan cepat, makanan dikunyah tigapuluh dua kali baru boleh ditelan.”

Mirah tertawa.

“Itu benar. Ketika kamu sekolah diajarkan bukan?”

“Iya bapak, tapi jarang yang bisa melakukannya.”

Handoko tertawa.

“Nanti kita jadi ke kebun binatang bukan ?”

“Jadi dong sayang, tapi habiskan dulu makannya ya."

***

Palupi menyuruh taksi berhenti didepan rumah Ryan. Palupi lega melihat mobil Ryan masih ada didepan, berarti dia belum berangkat bekerja.

Palupi bergegas kearah rumah Ryan yang sudah berbeda sejak bertahun-tahun lalu, dan  dia tidak pernah lagi pergi kesana.

Palupi hampir mengetuk pintu ketika tiba-tiba Ryan  muncul, dan serta merta Palupi merangkulnya sambil menangis.

Ryan terperangah, perlahan ia melepaskan pelukan Palupi dan mempersilahkan duduk diteras.

“Duduklah, ada apa?”

“Ryan, tolong aku, hatiku sakit sekali Ryan.. “ katanya masih sambil menangis.

“Ada apa?”

“Suami aku.. selingkuh... “

“Apa ? Selingkuh ? Kamu mendengar dari siapa?”

“Aku melihat dengan mata kepala sendiri Ryan, suamiku memeluk Mirah, pembantu aku.”

Ryan kaget.

“Benarkah ?”

“Itu benar Ryan.. hatiku sakit Ryan, aku dibandingkan dengan pembantu .. Ryan..”

Dari terkejut, Ryan beralih menyalahkan Palupi. Kalau itu benar.. bukankah itu kesalahan Palupi?

“Lupi... apa kamu tahu? Ada asap pasti ada api..”

“Apa maksudmu Ryan? Kamu tampak tidak bersimpati sama aku, kamu sahabat aku yang sampai sekarang masih aku sayangi..”

“Palupi, baiklah kita bersahabat, baiklah masih menyayangi, tapi itu bukan berarti cinta ya. Dan tentang masalah kamu, kamu harus tahu dan cari sebabnya mengapa suami kamu melakukannya. Itu andai benar, tapi sesungguhnya aku tidak bisa percaya begitu saja. Mas Handoko begitu baik dan santun.”

“Kamu tidak melihat dengan mata kepala sendiri seperti aku.. jadi kamu tidak percaya. Baru pagi ini. Tadi aku pergi pagi-pagi, kebetulan ponsel aku ketinggalan, ketika aku masuk rumah, aku melihat adegan itu Ryan. Sakit hatiku.”

“Apakah kamu mencintai suami kamu?”

“Ryan itu bukan pertanyaan.”

“Kalau kamu cemburu berarti kamu masih mencintai suami kamu, dan itu bagus sekali, sudah seharusnya seorang isteri mencintai suaminya.”

“Aku sakit hati karena aku dibandingkan dengan pembantu Ryan.”

“Ooh, sakit hati karena dibandingkan dengan pembantu?”

“Ryan, mengapa kamu mengejek aku ?”

“Hanya satu kata, semua adalah salah kamu.”

“Salah aku? Mengapa semua menyalahkan aku?”

“Kamu tidak bisa menjaga rumah tangga kamu, itu sebabnya suami kamu berpaling, tapi tetap saja kalau itu benar.”

“Ryaan... “

“Ma’af Lupi,  aku harus segera berangkat ke kantor.”

“Ryan, tolonglah aku..” Palupi kembali menangis.

“Aku tidak bisa menolong kamu, dan tak seorangpun bisa kecuali diri kamu sendiri,” kata Ryan sambil berdiri dan bersiap pergi.

“Ryan...”

“Ma’af Lupi..”

Ryan mendekati mobil dan masuk kedalamnya.

“Kamu naik apa?”

“Naik taksi, kunci mobil disembunyikan suami aku.”

“Baguslah, barangkali suami kamu mau mendidik kamu agar kamu bisa menjadi isteri  yang patuh kepada suami,” kata Ryan sambil menutup pintu mobil.

“Ryaaan, bawalah aku.”

“Pulanglah, dan rebut kembali suami kamu.”

Ryan menstarter mobilnya dan menjalankannya keluar dari halaman.

Palupi membanting-banting kakinya sambil berurai air mata.

***

Bu Ismoyo sedang menyirami tanaman ketika tiba-tiba Lupi muncul dan merangkulnya sambil menangis.

“Lho.. lho.. ada apa ini?”

“Ibu.. tolong Lupi ibu... “

“Memangnya kamu kenapa?”

“Mas Handoko berselingkuh bu..”

“Handoko? Berselingkuh sama siapa? Dia kan tidak pernah pergi kemana-mana?”

“Dengan Mirah bu...”

“Apa? Mirah? Maksudnya.. Mirah pembantu kamu?”

“Iya bu ?”

“Kata siapa ?”

“ Palupi melihat dengan mata kepala sendiri bu.. mas Handoko merangkul Mirah dengan mesra.. sakit hati Lupi bu..”

Bu Ismoyo mengajak Palupi duduk diteras. Palupi duduk sambil terisak isak.

“Ibu tidak menyalahkan kalau suami kamu berpaling, karena itu salah kamu sendiri. Bukankah kamu tidak pernah mengurus suami kamu?”

“Tapi bu.. berselingkuh dengan Mirah bu. Mirah pembantu.. apa itu pantas bu? Apa ibu tidak malu ? Lupi saja malu bu, mengapa Lupi kalah sama pembantu, mas Handoko kebangetan bukan bu?”

Bu Ismoyo terdiam. Kalau Handoko berpaling kepada wanita lain, ia bisa mengerti, dan barangkali bu Ismoyo akan membiarkannya. Tapi dengan Mirah. Aduh.. mengapa selera anak sulungnya begitu rendah? Apa tidak ada wanita lain yang lebih cantik dan lebih pantas diselingkuhi? Bahkan dinikahi sekalipun ?

“Bu, jangan diam saja bu, lakukan sesuatu, kalau perlu Mirah harus dipecat bu.”

“Sebelum ibu melakukan sesuatu, ibu ingin mengatakan bahwa itu salah kamu.”

“Ibu..”

“Seorang isteri harus bisa menjaga rumah tangganya. Kamu apa? Pernah mengurus suami kamu? Anakmu? Rumah tanggamu? Semuanya ada pada Mirah. Mirah meladeni semua anggauta keluarga dengan baik. Menyayangi anakmu dengan tulus dan telaten.”

“Tapi mana pantas mas Handoko bermain api dengan pembantu bu?”

“Masalah pantas dan tidak itu urusan belakangan. Yang jelas ini semua adalah salah kamu.”

Palupi ingin menjerit sekeras-kerasnya. Semua menyalahkan dirinya, bahkan ketika hatinya sakit karena dibandingkan dengan pembantu, tak ada yang bersimpati padanya. Memang benar, semuanya bergantung pada Mirah, bahkan Bintang sendiri ketika duduk disebuah rumah makan, memilih semeja dengan Mirah, menolak dirinya mentah-mentah. Hatinya semakin sakit ketika melihat Handoko merangkul Mirah. Ia merasa dikesampingkan, lupa atau tak merasa bahwa dirinya yang bersalah.

“Apa yang harus Palupi lakukan?”

“Berbuatlah sebagai ibu rumah tangga yang baik. Barangkali dengan itu kamu bisa merebut kembali cinta suami dan anak kamu.”

“Sebaiknya ibu pecat saja MIrah.. dia merusak cintanya mas Handoko dan jiga cintanya Bintang kepada Lupi.

“Kamu tidak usah mendekte ibu untuk apa yang akan ibu lakukan. Lakukanlah yang terbaik demi rumah tangga kamu.”

Palupi meninggalkan rumah mertuanya dengan perasaan terluka, seperti ketika tadi ketemu Ryan, sama sekali tak ada elusan rasa kasihan, walau air matanya mengalir seperti hujan.

***

Bintang senang bukan alang kepalang. Ia seringkali melepaskan pegangan tangan  Mirah karena tertarik kepada binatang yang satu ke yang lain.

Handoko mengikuti dengan langkah tertatih sambil memegang erat kruk ditangan kirinya.

Mirah yang masih merasa khawatir atas tuan gantengnya mengawasi Bintang dan Handoko dengan sangat hati-hati. Jangan sampai keduanya terjatuh dan cedera.

“Lihat Mirah, Bintang tampak senang sekali,” kata Handoko.

“Iya bapak, sudah sejak kemarin mas Bintang ingin melihat gajah.”

“Aku sudah lama tidak mengajak Bintang jalan-jalan.”

“Tidak apa-apa bapak, kan bapak lagi sakit. Sekarang ketika bapak belum pulih benar juga sudah menyempatkan diri untuk mengajak mas Bintang jalan-jalan.”

“Sebenarnya aku juga ingin jalan-jalan.”

Handoko yang merasa letih kemudian duduk disebuah bangku.

“Capek ya pak?”

“Iya, ikutilah Bintang, biar aku menunggu disini.”

“Kalau bapak capek, lebih baik kita pulang saja.”

“Jangan Rah, nanti Bintang kecewa. Sudah, tuh lihat.. dia berlari kesana Rah.”

Mirah terpaksa mengikuti Bintang yang berlarian kesana kemari.

“Ada burung bagus yu..”

“Iya, itu namanya burung kakak tua.”

“Jadi burung itu sudah tua ?”

“Bukan mas, namanya burung Kakak Tua. Yang baru menetas juga namanya Kakak Tua.”

“Kalau yang tua itu kakek kan, bukan kakak ?”

“Ah, mas Bintang .. nanti mas Bintang juga akan tahu,” jawab Mirah. Tapi diam-diam Mirah memuji kecerdasan Bintang.”

“Mas Bintang, bagaimana kalau kita pulang?” Mirah mencoba membujuk BIntang mengingat tuan gantengnya tampak capek.

“Sebentar, aku mau kasih makan kera.”

“Waduh, harus beli pisang dulu. Tapi nanti setelah kasih makan kera, kita pulang ya, kasihan bapak.”

“Mana bapak?”

“Bapak duduk disana tuh.. lihat..”

“Bapak capek ya?”

“Iya, bapak kan belum sembuh benar, jadi kalau jalan jauh-jauh jadi capek deh.”

“Kalau begitu kita pulang saja yuk.”

“Anak ganteng, anak pintar.. Baiklah, lain kali kalau bapak sudah sehat benar bisa kemari lagi lebih lama.”

Bintang berlari mendekati ayahnya, sementara Mirah mengikutinya dari belakang.

“Bapak, ayo kita pulang.”

“Lhoh, kok pulang? Sudah puas lihat binatangnya?”

“Besok kalau bapak sudah bisa jalan, kita kemari lagi.”

Handoko tersenyum. Pasti Mirah telah berhasil membujuknya untuk pulang.

“Bintang bukannya masih mau melihat-lihat yang lainnya?”

“Nggak bapak, Bintang sekarang lapar.”

“Oh.. ya ampun, anak bapak sampai kelaparan. Ayuk pulang dan makan di restoran ya?”

“Yang ada es krimya ya bapak?”

“Oke, anak pintar.”

***

Ketika Danang pulang untuk makan siang, dilihatnya ibunya sedang termenung diruang tengah.

“Lho, ibu sudah makan?”

“Belum, nungguin kamu.”

“Kalau begitu ayo kita makan.”

“Tunggu Danang, ibu mau bicara.”

Danang kemudian duduk dihadapan ibunya. Ia heran ibunya tampak sedang memendam sesuatu.

“Ada apa bu?”

“Tadi Palupi datang kemari.”

“Oh ya, kangen sama mertuanya rupanya.”

“Bukan, ia menangis-nangis sehingga membuat ibu bingung.”

“Kenapa memangnya bu?”

“Dia bilang suaminya selingkuh.”

“Suaminya itu mas Handoko kan?”

“Iya lah Nang, siapa lagi.”

“Lha itu kan salah dia sendiri, karena tidak mengurus suaminya. Biarkan saja bu, ibu tidak usah memikirkannya.”

“Tapi kakak kamu itu selingkuh sama Mirah.”

Danang terkejut. Dulu ia ingin melaporkan kepada ibunya tentang kakaknya yang tampaknya menyukai Mirah, tapi dia belum sempat melakukannya. Sekarang isterinya sendiri yang mengatakan kepada ibunya.

“Palupi bilang dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kakakmu sedang merangkul Mirah.”

“Bu, sebenarnya kalau hal itu Danang sudah lama tahu.”

“Apa maksudmu sudah lama tahu? Tentang hubungan kakakmu dengan MIrah?”

“Mas Handoko bilang dengan jelas bahwa dia menyukai Mirah.”

“Mengapa kamu baru bilang sekarang? Mengapa tidak kemarin-kemarin kamu mengatakannya pada ibu?”

“Danang takut ibu akan sedih.”

“Ini tidak bisa dibiarkan le, ayo kita makan, setelah makan antarkan ibu kerumah kakakmu.”

“Apa yang akan ibu lakukan?”

“Sebenarnya ibu tidak menyalahkan kakakmu kalau dia berpaling, karena isterinya juga tidak bisa mengurusnya. Barangkali juga ibu akan membiarkannya kalau wanita itu bukan Mirah. Tapi Mirah itu kan pembantu, ibu tidak suka anak ibu berhubungan dengan pembantu.”

“Lalu apa yang akan ibu lakukan?”

“Mirah harus pergi dari sana.”

***

Handoko dan Bintang memasuki rumah makan, Mirah mengiringinya dari belakang. Mereka berjalan pelan karena Handoko berjalan tertatih dengan kruk nya.

Lalu Handoko memilih sebuah bangku, Mirah membantu mendudukkan Bintang. Kemudian Mirah duduk dimeja yang lain. Ia tahu diri, dan Palupi pernah mengingatkan akan hal itu.

“Mirah, mengapa duduk disitu?”

“Biar Mirah disini saja bapak.”

“Tidak Mirah, kamu juga disini bersama kami.”

“Dulu yu Mirah tidak boleh duduk sama-sama ibu,” kata Bintang.

“Oh ya?”

“Tidak apa-apa bapak, biarlah Mirah disini saja.”

“Tidak, kamu harus disini. Mirah !!” kata Handoko tandas, dan Mirah tak bisa membantahnya, perlahan ia beralih duduk semeja dengan tuan gantengnya, didekat Bintang.

“Kamu jangan merasa bahwa kamu itu berbeda Mirah, kamu adalah keluargaku.”

“Mirah hanya takut bapak.”

“Tidak boleh takut. Ayo sekarang mau pesan apa, Bintang mau makan apa, Mirah apa?”

“Bintang mau es krim bapak.”

“Nanti boleh makan es krim, tapi harus makan dulu.”

“Baiklah bapak.”

“Oh ya Rah, nanti kamu juga harus  pesan makanan untuk dibawa pulang, kamu tidak usah masak hari ini.”

“Baiklah.”

“Sekarang mau pesan apa, kamu saja yang menulisnya Mirah, aku mau yang ada kuahnya saja, mungkin sup lebih segar.”

Seperti sebuah keluarga, ketiganya menikmati pesanannya dengan nikmat. Bintang juga makan dengan lahap, tampaknya dia benar-benar lapar.

Namun tiba-tiba seseorang masuk ke restoran itu. Ketika sedang mencari-cari bangku yang kosong, matanya terpaku pada sebuah meja dimana Handoko dan Bintang serta Mirah sedang makan.

Sepasang mata menatap dengan pandangan penuh api.

***

Besok lagi ya.

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15