SANG PUTRI 08

SANG PUTRI  08

(Tien Kumalasari)

 

Mata menyala itu mendekat kearah bangku, membuat Hndoko terkejut, Mirah gemetaran melihat mata yang. tampak bagai memancarkan api itu.

“Oh.. begini rupanya..?” katanya sambil telunjuknya menunjuk kearah hidung Mirah.”

“Lupi, duduk dan bicara pelan..” tegur Handoko yang merasa sungkan karena beberapa orang mulai memandang kearahnya.

“Mana mungkin aku bisa bicara pelan? Aku sangat marah. Begundal ini telah menginjak-injak rumah tanggaku.”

Handoko sangat marah mendengar Palupi seperti juga Danang menyebut Mirah sebagai begundal.

“Dia bukan begundal,” katanya tandas, tapi pelan.

“Jadi apa? Calon isteri muda kamu?”

“Ya !” Handoko menjawab singkat. Lalu diulurkannya beberapa lembar uang kepada Mirah.

“Rah, tolong dibayarkan ke kasir, berikut yang harus kita bawa.”

Mirah mengangkat Bintang dari kursinya, lalu berjalan kearah kasir.

Handoko mengambil ponselnya dan memanggil taksi.

Palupi bertambah naik pitam.

“Jadi benar, dia akan kamu jadikan isteri muda kamu?”

“Apa kamu tidak mendengarnya? Kurang jelas ?”

“Setan alas itu harus dilenyapkan.”

Wajah Palupi semakin merah padam, Handoko merasa merinding. Itu seperti bukan Palupi yang dikenalnya, yang pernah dicintainya bahkan sampai beberapa bulan terakhir, yang kemudian lenyap tanpa bekas karena sikap dan ulahnya.

Handoko berdiri, mengambil kruknya, lalu melangkah keluar. Dilihatnya Mirah sudah sampai diluar rumah makan itu.

Namun tanpa diduga Palupi memburunya, dan menjambak rambut Mirah sehingga kepala Mirah tertarik kebelakang.

“Augh..” pekik Mirah, sementara Bintang yang semula diam kemudian menangis keras. Handoko marah bukan alang kepalang. Diayunkannya tongkat yang dipakainya kearah tubuh Palupi, membuatnya terhuyung dan  terjatuh, tapi Handoko sendiri juga terhuyung dan beruntung bisa bersandar pada tubuh Mirah yang berada didekatnya.

“Mirah, itu taksinya sudah datang, cepat masuk,” kata Handoko yang kemudian juga bersiap masuk kedalam taksi.

Palupi yang sudah bangkit berusaha menarik tangan Mirah yang sudah hampir masuk kedalam taksi, tapi Handoko menghalanginya dengan tongkatnya. Handoko sendiri hampir saja terjatuh kalau saja tubuhnya tidak bersandar pada badan taksi itu.

Palupi lupa segala-galanya, ia berteriak sambil mengejar taksi yang sudah berlalu.

***

Mirah ingin menangis, tapi ditahannya. Ia tak ingin Bintang bertambah sedih melihat kekacauan yang baru daja terjadi.

“Mas Bintang jangan menangis ya.. tidak apa-apa kok,” hibur Mirah sementara hatinya juga teriris.

“Ma’afkan Mirah.. “ kata Handoko sambil menoleh kebelakang, dimana Mirah sedang merangkul Bintang.

“Tidak apa-apa bapak..”

“Tiba-tiba dia seperti orang kesetanan. Ya Tuhan, apa yang merubahnya menjadi seperti itu,” keluh Handoko.

“Sabar pak, ada mas Bintang, kata Mirah lirih sambil membungkukkan tubuhnya kearah Handoko. Mirah sangat menjaga, jangan sampai Bintang merasakan adanya kekacauan tadi.

“Oh ya mas Bintang, tadi es krimnya yu Mirah bawa pulang, ini, ayo dimakan, sebelum meleleh nih,” kata Mirah sambil mengeluarkan kotak es krim yang tadi dibelinya.

Bintang mengangkat kepalanya yang semula berada dalam rangkulan Mirah.

“Ini sendoknya, aduuh.. ini rasa coklat sama strowberi.. enaknyaaa...”

Bintang menerima kotak es krim itu,.

“Ini sendoknya. Wah, mas Bintang pinter sudah bisa membuka sendiri.. sudah, ayo dihabiskan.”

Diam-diam Handoko memuji Mirah yang mengerti tentang kejiwaan anak kecil.  Bintang tidak boleh terluka. Perasaannya harus selalu dijaga. Mirah benar, kebahagiaan seorang anak adalah sesuatu yang nomor satu.

“Enakkah Bintang ? Bapak jadi pengin nih..” kata Handoko ikutan membuat Bintang senang.

“Bapak mau?”

Lalu bintang menyendok sesendok es krim diulurkan kearah bapaknya. Handoko membuka mulutnya dan mengecap-ngecap es krimnya.

“Hm.. ternyata enak.. Bintang suka ?”

“Suka.. yu Mirah mau? Haaaak...” kata Bintang sambil menyendokkannya untuk Mirah. Tapi Mirah menggeleng.

“Jangan mas, yu Mirah nggak suka es krim..” jawab Mirah yang nggak ingin mengecap bekas mulut tuan gantengnya.

“Enaaak yu... cobain..” Bintang memaksa.

“Yu Mirah agak pilek. Kata dokter, kalau lagi pilek nggak boleh minum es krim..”

“Oh, yu Mirah lagi pilek?”

“Iya nih,,, sudah, dihabisin mas Bintang saja ya..”

Bintang asyik menyendok es krimnya, wajah yang semula tampak bingung sudah kembali cerah.

“Rah, kita tidak langsung pulang ya.”

“Kemana bapak?”

“Jalan-jalan ke mal, ajak Bintang bermain main.”

“Bapak tidak capek ?”

“Tidak, Bintang harus gembira. Bintang, maukah bermain di mal, naik mobil-mobilan? Atau kereta-keretaan?”

“Mauuu..” Bintang langsung berteriak riang.

“Baiklah... pak, langsung ke mal terdekat ya,” perintah Handoko kepada tukang taksi.

***

Bu Ismoyo lama menunggu diteras rumah Handoko. Danang hanya menurunkannya lalu langsung berangkat ke kantor, tanpa tahu bahwa rumah Handoko kosong.

“Kemana mereka pergi? Lama sekali aku menunggu, dan sayangnya aku kok ya lupa bawa ponsel sehingga nggak bisa menghubungi siapa-siapa..” keluh bu Ismoyo yang kelelahan menunggu.

Bu ismoyo berdiri .. melangkah keluar, mau tidak mau dia harus naik becak pulang, karena yang ditunggu tidak segera datang. Tapi sebelum sampai diluar tiba-tiba Widi muncul dengan sepeda motornya.

“Lho.. bude kok jalan kaki ?”

“Itu.. rumah kamasmu kosong, aku capek menunggu, mau pulang saja..”

“Kok nggak naik taksi?”

“Bude lupa nggak bawa ponsel nduk, ya mau naik becak saja jadinya.”

“Memangnya mas Handoko kemana? Yu Mirah juga nggak ada?”

“Nggak ada semua, ayo kalau begitu temani bude menunggu sambil omong-omong.”

“Baiklah bude.”

Maka Widi menemani bu Ismoyo duduk di teras.

“Bude kok sendiri..?”

“Habis mau sama siapa Wid, simbok kan sa’atnya bersih- bersih setelah memasak. Tadi bude bareng sama Danang ketika dia habis makan siang dirumah.”

“Mas Danang langsung ke kantor?”

“Iya. Bude sedang susah ini Wid..”

“Lho, kenapa bude?”

Pagi tadi Palupi nangis-nangis, katanya suaminya selingkuh dengan Mirah.”

“Masa sih bude?” tanya Widi tak percaya.

“Benar Wid, malah tadi Danang juga bilang, kalau kamasmu itu suka sama Mirah.”

“Mas Handoko bilang begitu?”

“Iya. Makanya bude sedih nih Wid, kalau Handoko ingin wanita yang lain, ya biar saja wong isterinya nggak pernah ngurusin rumah tangganya, tapi kok sama Mirah.. gimana coba?”

“Tapi kok Widi nggak percaya kalau mas Handoko melakukan itu. Kalau dekat sama yu Mirah, itu kan memang karena yu Mirah mengurus semuanya dirumah ini. Melayani mas Handoko, melayani dan momong Bintang.”

“Mirah memang baik, bisa mengurusi semuanya, tapi rasanya nggak tega kalau Handoko benar-benar suka sama Mirah.”

“Lalu bude datang kemari karena mau memarahi mas Handoko?”

“Bude ingin tanya kebenarannya. Nggak bisa tidur bude kalau belum mendapat jawabannya.”

“Bude, saya pikir bude tidak usah terlalu memikirkan mas Handoko. Bude sudah melepasnya untuk membangun rumah tangga sendiri, jadi biarkan saja bude, mas Handoko pasti sudah bisa memilih dan mentukan apa yang harus dilakukannya.”

“Kalau bude punya menantu seperti Mirah, apa bude juga harus menerimanya?”

“Mirah wanita yang baik, dia bisa mengurus sebuah rumah tangga dengan sempurna. Seandainya benar mas Handoko memilih Mirah, saya kira tidak ada masalah.”

“Apa maksudmu tidak ada masalah?”

“Bude, saya yakin bude berfikir tentang derajat seseorang. Ma’af ya bude, bukannya Widi menggurui, tapi menurut Widi, itu tidak masalah.”

“Aku tidak mengerti jalan fikiran kamu Wid.”

“Bude, derajat manusia itu sama dimata Allah.. “

Bu Ismoyo diam. Ia heran Widi tidak mempermasalahkan derajat seseorang. Bukankah ada pembantu dan ada majikan? Bukankah itu derajat yang berbeda ?

“Bude, seseorang berbeda karena harta yang dimilikinya. Yang kaya, derajatnya dianggap lebih tinggi dari orang yang miskin .  Tapi perilaku baik tidak hanya dimiliki oleh orang yang berderajat tinggi. Ada orang yang derajatnya tinggi, tapi perilakunya buruk. Seseorang bisa memilih, yang derajatnya tinggi tapi perilaku buruk, atau derajatnya rendah tapi perilakunya mulia.”

Lalu Widi terkejut sendiri, dia yang masih bocah berani mengutarakan hal yang semestinya orang tua sudah tahu.

“Bude, sungguh Widi minta ma’af, Widi hanya menirukan kata-kata yang pernah diajarkan bapak kepada Widi. Ma’af ya bude.”

Bu Ismoyo menatap Widi dengan kagum. Ia tahu bahwa Tarman adiknya adalah seorang yang sangat sederhana. Dia jarang datang kerumah karena merasa menjadi orang yang bukan orang berada. Sering Tarman mengutarakan hal itu kalau bu Ismoyo menegurnya dengan jarangnya dia datang menemuinya. Dan menjadi orang yang serba berkecukupan, membuat bu Ismoyo merasa memiliki derajat yang lebih tinggi. Lalu diresapinya kata-kata Widi, bahwa derajat manusia sama dimata Allah. Bu Ismoyo merasa bodoh dihadapan Widi. Widi yang masih bocah ternyata lebih bijaksana.

“Bude, apakah bude marah sama Widi? Sungguh bude, Widi tanpa sengaja telah mengutarakan sesuatu seperti yang pernah bapak katakan. Memang tidak pantas Widi mengatakannya.”

“Tidak.. tidak, kamu benar, sekarang kamu membuat budemu ini kangen sama bapakmu. Ayo antarkan bude ketempat bapakmu,” kata bu Ismoyo sambil berdiri.

“Sekarang bude ?”

“Iya, sekarang, bude tak ingin terlalu mengurusi rumah tangga kamasmu.”

“Bude, tapi Widi naik sepeda motor. Apa berani bude mbonceng sepeda motor?”

“Mengapa tidak? Ayo kita coba,” kata bu Ismoyo sambil tersenyum.

Widipun berdiri, mendekati sepeda motornya dan menstarternya.

“Silahkan naik bude, tapi pegangan sama Widi yang kenceng ya.”

***

Handoko dan Mirah duduk disebuah bangku, menunggu Bintang yang berputar-putar dengan mobilnya.

Handoko senang Bintang tampak sangat gembira, dan Handoko yakin  Bintang sudah melupakan kejadian ketika mereka berada dirumah makan.

Tapi Handoko merasa prihatin, wajah Mirah tampak kuyu. Kejadian dirumah makan itu seperti menampar mukanya. Palupi mengatakan dia begundal, dan dia mengakui bahwa Mirah adalah calon isteri mudanya. Apakah Mirah terluka?

“Rah..”

Mirah yang semula menatap kosong kedepan menoleh tuan ganteng yang duduk disampingnya.

“Ya, bapak..”

“Aku minta ma’af..”

“Tadi bapak sudah mengatakannya.”

“Palupi sungguh tak terkendali. Kenapa tiba-tiba mengamuk seperti itu?”

“Bapak terlalu menganggap saya keluarga, duduk semeja dengan bapak, itu kan tidak pantas? Saya sudah memilih meja yang lain tadi.”

“Bukan itu Rah. Aku tidak mau kita yang hanya bertiga harus menempati dua meja. Lagipula kamu itu bukan aku anggap pembantu. Kamu keluargaku juga.”

“Mengapa bapak mengiyakan ketika ibu mengatakan bahwa saya calon isteri muda bapak?”

“Apakah kamu tersinggung dengan ucapan itu?”

“Bukan tersinggung bapak, tapi kecewa, karena dengan meng ‘iya’ kan ucapan itu, bapak telah membuat ibu sangat marah. Dan saya menjadi sasaran kemarahan itu. Seperti ketika tadi ibu menjambak rambut saya.”

“Ma’af ya Mirah..”

“Belum nanti, kalau kita sampai dirumah, pasti ibu belum melupakan kemarahannya sama Mirah.”

“Tidak, kalau Palupi menyerang kamu, aku akan melindungi kamu.”

“Mengapa bapak tadi tidak membantahnya saja sehingga ibu tidak semakin marah?”

Dan Handoko juga tidak mengerti mengapa tadi dia tidak membantahnya. Apakah dia hanya ingin memanas-manasi hati Palupi? Atau memang benar ada niat itu? Aduhai, Handoko belum mendapat jawaban atas sikapnya sendiri. Mirah memang hanya pembantu, tapi dia bisa menjadi isteri yang baik. Benarkah dirinya menginginkannya?

Mirah menoleh kearah Handoko dari yang semula hanya menundukkan kepalanya. Ada air mata menetes dari sepasang mata beningnya. Jatuh terburai dilantai.

Sesungguhnya Mirah menunggu jawaban Handoko, yang sampai lama tidak juga mengatakannya.

Handoko melihat tetesan air mata itu. Ia merogoh sapu tangan disakunya, diulurkannya kepada Mirah.

“Jangan menangis Mirah.”

Mirah menerima saputangan itu dengan gemetar. Lalu benar-benar dipakainya untuk mengusap air matanya.

Lalu terdengarlah langkah-langkah kecil mendekat.

“Yu Mirah menangis ?” Mirah terkejut atas pertanyaan Bintang.

“Oh, tidak mas, tadi ada debu memasuki mata yu Mirah. Sudah main  mobilnya?”

“Aku mau naik lagi..” rengeknya.

“Oh, masih mau lagi? Nggak capek?”

Bintang menggeleng, lalu menarik tangan Mirah sambil berlari lari kecil.

Handoko menatap punggung Mirah. Menatap tubuh semampai dengan kulit bersih, dan ia teringat senyuman Mirah yang manis.

“Apakah aku tertarik pada gadis itu? Apakah aku memang menginginkannya agar menjadi isteriku?” gumamnya dalam hati.

Mirah kembali duduk, agak jauh dari dirinya.

“Mas Bintang naik mobil yang lain,” kata Mirah lirih.

“Biarkan saja, asalkan dia senang.”

“Tapi ini sudah sore. Biasanya mas Bintang tidur siang.”

“Nanti dia akan lelah dan mengantuk. Biarkan saja. Jarang aku bisa menikmati kegembiraan Bintang. Dulu aku sibuk dikantor. Kalau ingin mengajak Bintang jalan-jalan, hanya ala kadarnya saja. Tapi hari ini aku puas melihat kegembiraannya. Lain kali kita akan mengajaknya lagi ya Rah.”

“Sesekali, ajaklah ibu.”

Handoko menoleh kearah Mirah. Gadis itu kembali menundukkan kepalanya, menatap lantai yang berkilat, memantulkan wajahnya samar-samar. Bayangan sendu itu masih juga tampak. Mirah menahan air matanya, jangan sampai terjatuh seperti tadi.

“Kita lihat saja nanti, apa dia bersedia melakukan hal seperti ini,” gumam Handoko lirih.

Satu kali putaran lagi, Bintang harus menghentikan mobilnya.

“Mas Bintang, habis ini sudah ya. Ini sudah sore,” teriak Mirah.

Mungkin karena lelah, atau mengantuk, Bintang menganggukkan kepalanya.

***

Memang benar Bintang mengantuk. Turun dari taksi Mirah menggendongnya dan Bintang terkulai dipundaknya.

Handoko membuka pintu rumah, dan Mirah menidurkan Bintang dikamarnya.

Mirah mencium pipinya lembut, kemudian membuka sepatunya pelan. Bintang sudah terlelap. Mirah beranjak kebelakang, melakukan tugasnya seperti biasa. Membuat teh sore, lalu meletakkan lauk yang tadi dibelinya, menatanya di meja. Nanti sa’at makan tinggal memanaskannya.

Lalu Mirah menyiapkan minuman untuk tuan gantengnya, secangkir kopi susu, yang diletakkan dimeja ruang tengah.

Ketika ia meletakkan minuman itu, Handoko keluar dari kamar, sudah rapi dan wangi.

“Minumannya sudah, bapak.”

“Terimakasih Mirah. Bintang masih tidur?”

“Masih, tadi kelihatannya sudah sangat mengantuk.”

“Kamu boleh istirahat, pasti kamu juga lelah.”

“Ya bapak, setelah ini Mirah mau mandi dulu.”

Handoko mengangguk, lalu duduk diatas sofa, menikmati kopi susunya.

Baru setengah minuman itu direguknya, tiba-tiba terdengarlah langkah sepatu dari arah depan. Handoko menyalakan televisi, pura-pura tak tahu bahwa itu langkah isterinya. Handoko masih sangat marah.

“Oh, pasangan calon suami isteri sudah pulang?” kata Palupi sinis.

Handoko mendiamkannya.

“Mas, aku mau bicara.”

Handoko pun diam.

“Dengar mas, aku serius. Aku sakit hati mas memperlakukan aku seperti ini. Aku bukan tandingan Mirah.”

Sekarang Handoko menoleh kearah Palupi, yang berdiri sambil memegangi sandaran kursi.

“Benar, kamu bukan tandingan Mirah. Jauh sekali, jauh bedanya.”

“Baiklah, sekarang mas harus memilih. Suruh Mirah pergi dari sini, atau mas ceraikan aku.!” Kata Palupi tandas.

Handoko bergeming, menatap tajam isterinya. Sedangkan dibalik pintu, Mirah yang belum sempat pergi mandi mendengarkannya, dengan hati miris.

***

Besok lagi ya

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15