SANG PUTRI 09

 

SANG PUTRI  09

(Tien Kumalasari)

 

Palupi masih berdiri ditempatnya semula, berpegang pada sandaran sofa. Handoko menatapnya dengan marah.

“Kamu menantang aku? Sekarang aku ingin bertanya, apa yang kamu inginkan? Tetap menjadi isteri aku atau menyuruh Mirah pergi dari sini?”

“Tentu saja aku ingin agar Mirah pergi dari sini.”

“Jadi kamu ingin tetap menjadi isteri aku?”

“Tentu saja, bukankah kamu juga suamiku?”

“Apa kamu bisa merubah sifat kamu?”

“Memangnya aku kenapa ?”

“Kamu mengecewakan. Kamu tidak pantas menjadi isteri dan seorang ibu. Lihat, apa kamu bisa dekat dengan anakmu? Bisa melayani suamimu seutuhnya?”

“Lalu sebagai isteri aku harus melakukan apa?”

“Tetap dirumah, menjaga rumah tangga kamu, mengasihi anak kamu, memasak, mengatur rumah.. melayani suami..”

“Itu gila. Aku bukan pembantu.”

“Jadi kamu tetap tidak mengerti.”

“Dulu kamu tidak begitu.”

“Benar, tapi aku biarkan dan kamu keterusan. Tetap liar dan sering berada diluar daripada dirumah.”

“Kamu mencari-cari alasan agar bisa mendekati pembantu itu.”

“Kamu yang memberikan alasan-alasan itu. Bukan aku. Anakmu jauh dari jangkauan kamu, apa kamu tidak merasakannya?”

Palupi terdiam, tapi bukan berarti dia mengerti apa yang dikatakan suaminya. Dia selalu merasa disalahkan dan tak ada yang baik atas dirinya.

“Jadi kamu memilih yang mana?”

“Aku tidak akan memilih. Mirah tetap disini dan kamu akan ada dimana, itu terserah kamu.”

“Ini gila! Aku tidak sudi bersaing dengan pembantu.”

“Kamu tidak usah merasa bersaing. Kamu tak akan mampu menyaingi dia.”

Palupi meninggalkan suaminya sambil membanting-banting kakinya, lalu masuk kedalam kamarnya sendiri.   

Handoko menghela nafas kesal, berharap isterinya bisa mengerti tapi tampaknya tidak.

***

Mirah ada didalam kamar Bintang. Menangis terisak disana sambil memeluk si kecil ganteng yang pulas tertidur.

“Aku sangat menyayangi kamu mas Bintang, kamu seperti darah dagingku. Kalau aku harus pergi, bagaimana dengan dirimu? Apakah kamu akan menangis? Berteriak memanggil namaku? Mencari aku disetiap sudut rumah ini? Mencari aku dikebun dimana aku sering merawat bunga-bunga? Mencari aku didapur karena mengira aku sedang menggoreng ayam kesukaan kamu? Mas Bintang, kesayanganku, mana bisa yu Mirah hidup tanpa kamu? Betapa akan sepinya tanpa mendengar rengekan kamu, betapa sepinya tanpa mendengar tawa manjamu. Aku akan kehilanganmu.. Kalau yu MIrah harus pergi.. jangan suka menangis, jangan rewel, jangan susah makan ya, selalu mintalah kepada ibu, yang melahirkan kamu, percayalah dia akan berubah, dia akan menyayangi kamu, lebih dari yang yu Mirah pernah berikan.”

Mirah tersedu sambil terus mendekap Bintang. Sejenak Bintang menggeliat, membuka matanya, tapi ketika tahu bahwa Mirah yang mendekapnya, matanya kembali terpejam. Lalu Mirah menepuk-nepuk pantatnya seperti biasanya, sambil air matanya bercucuran.

Handoko tertatih mendekati kamar Bintang, membuka pintunya pelan, lalu melihat Mirah terisak sambil memeluk Bintang. Hati Handoko bagai teriris oleh ribuan sembilu, nyeri dan berdarah. Apakah Mirah mendengar semuanya? Apakah Mirah merasa bahwa Handoko akan mengusirnya?.

“Mirah, kamu akan tetap disini,” bisiknya pelan, lalu menutup pintunya dan melangkah kembali keruang tengah.

Televisi masih menyala, mata Handoko menatap kesana, tapi bukan menikmati acaranya. Ada desir sedih dihatinya, ketika kemudian merasa bahwa rumah tangganya akan berantakan. Bahagia yang pernah diimpikannya, seperti bayang-bayang maya yang susah dirabanya.

Mirah mendengar langkah-langkah menjauh dari kamar Bintang. Ia juga mendengar Handoko berkata lirih, Tapi mungkinkah dia bisa menjalani hidup dalam bara yang menyala ?

***

“Saya senang mbakyu bisa betah disini sampai sore,” kata pak Tarman ketika bu Ismoyo datang bersama Widi.

Sudah sejak siang bu Ismoyo bertandang dirumah adiknya.

“Aku itu kangen sama kamu Man. Kamu kalau tidak disuruh ya tidak mau datang menemui mbakyumu ini.”

“mBakyu itu kan orang sibuk, urusannya banyak, kalau saya datang lalu hanya untuk ngobrol kan namanya mengganggu.”

“Ah, sibuk apa. Sejak mas Ismoyo tidak ada, urusan perusahaan itu kan yang ngurus Handoko sama Danang. Aku ya hanya dirumah saja, tidak ngapa-ngapain.”

“Oh iya, kabarnya Handoko bagaimana, sudah pulih belum kakinya, Aku juga belum sempat kesana mbakyu, cuma suruhan Widi saja untuk menengok kakaknya.”

“Sekarang tidak dengan kursi roda, dia bisa jalan dengan kruk. Lha dia beli kruknya kan juga sama Widi.”

“Iya, Widi juga cerita. Semoga cepat pulih ya mbakyu, Handoko kan tulang punggung keluarga Ismoyo.”

“Iya Man. Itulah. Tapi sa’at ini kan rumah tangganya sedang kacau.”

“Kacau bagaimana mbakyu?”

“Lha Palupi itu kan tidak bisa menghilangkan kebiasaannya jalan-jalan, arisan, kumpulan-kumpulan ibu-ibu yang entahlah, pokoknya banyak, sehingga rumah tangganya kan tidak terurusi.”

“Iya, sekilas Widi pernah cerita.. Lha mbakyu kan bisa mengingatkan.”

“Wah, apa kamu kira mudah ngomong sama Palupi? Nggak kurang-kurang aku mengingatkan. Malah pagi tadi ribut gara-gara Palupi mencurigai suaminya selingkuh sama Mirah, coba.”

“Haaa?”

Lalu Tarman terbahak-bahak.

“Kamu kok tertawa sih Man? O.. sesama lelaki .. barangkali selingkuh itu biasa ya?”

“Bukan mbakyu.. bukan..” pak Tarman masih saja tertawa.

“Lha kenapa kamu tertawa begitu?”

"Ya tertawa mbakyu, masa Handoko bisa selingkuh? Dia keponakanku yang baik. Sudah ganteng, pinter, masa sih selingkuh? Tapi mbakyu, sebaik-baik orang, kalau ada pemicunya memang bisa jadi sih. Tapi dengan Mirah?”

“Iya Man, bagaimana menurut kamu?”

“Ya.. kalau memang itu terjadi, ya pastilah karena Palupi tidak bisa menjaga rumah tangganya dengan baik. Terlalu membiarkan Handoko hanya dengan Mirah, sementara Mirah itu kan sangat baik dan setia. Melayani majikannya dengan baik pula, itu kata Widi lho.  Jadi ya.. kemungkinan itu ada..”

“Bagaimana kalau benar-benar kejadian..?”

“Seseorang itu kan punya pilihan hidup. Artinya kalau yang ini kurang baik.. cari yang lebih baik.. itu pasti. Dan aku yakin Handoko akan bisa memilih yang terbaik untuk hidupnya.”

“Kalau benar Mirah akan diambil isteri..  aku harus bagaimana ?”

“mBakyu tidak usah terlalu memikirkannya. Kalau Mirah akan diambil isteri, berarti Handoko tahu bahwa Mirah itulah yang terbaik. Jangan memikirkan Mirah itu siapa, orang apa.. Handoko lebih bisa menentukan jalan hidupnya.”

Bu Ismoyo tampak termenung.

“Kita ini sudah tua, jangan terlalu terbebani dengan anak-anak, biarlah mereka menentukan jalan hidup mereka sendiri.”

“Iya ya Man, sepertinya benar kata-katamu itu. Sekarang kapan kamu mantu?”

“Ah, Widi kan masih kuliah mbakyu, biarkan saja.”

“Dengar-dengar dia sudah punya pacar?”

“Masa sih mbakyu... Tapi jodoh itu kan ditangan Yang Maha Kuasa, biarlah nanti Allah yang memberikannya.”

“Iya, aku juga harus berfikir demikian. Danang itu kan ya sudah sa’atnya punya isteri, tapi kok ya susah sekali.. Kamu tahu nggak Man, aku pernah kepikiran akan menjodohkan Widi sama Danang.”

“Ah, jangan mbakyu, masih saudara dekat. Tidak dilarang, tapi kurang baik. Nantilah, pasti jodoh itu akan datang sendiri.”

Bu Ismoyo mengangguk-angguk. Baru kali ini ia bisa berbincang dengan adiknya dengan nyaman.

“Tapi mana Widi? Tolong telpon Danang Wid, suruh njemput bude disini.”

“Baiklah bude.”

***

Danang memasuki rumah Handoko sore itu, tapi yang menyambutnya didepan pintu justru Palupi.

“Ibu masih disini mbak?”

“Nggak ada tuh, memangnya tadi kesini?”

“Tadi siang aku yang mengantar ibu kemari.”

“Oh, barangkali ketika itu rumah lagi kosong. Mas Handoko lagi jalan-jalan sama Bintang dan selingkuhannya.”

Danang tertawa keras.

“Oh, ya sudah, kalau begitu aku pulang saja. Mana mas Handoko?” kata Danang terus masuk kedalam. Kekesalannya sa’at dimarahi kakaknya sudah hilang.

“Mas..”

“Kamu Nang? Sama ibu?”

“Aku justru mau menjemput ibu. Tadi siang aku antar ibu kemari.”

“Oh, siang tadi kami pergi keluar, Bintang ingin melihat binatang, mungkin karena rumah kosong ibu langsung pulang.”

“Ya sudah kalau begitu,” kata Danang sambil melongok kebelakang, kalau-kalau ada Mirah disana. Tapi Mirah tak kelihatan.

“Ya sudah, ngapain pakai melongok-longok segala.”

Danang tertawa kecut.

“Iya, aku sudah tahu itu punya mas,” katanya sambil nyelonong pergi, meninggalkan Handoko yang menatapnya kesal.

Ketika Danang sudah sampai didepan, dilihatnya Palupi menunggunya.

“Mau kemana mbak?”

“Mau ikut kamu.”

“Pulang kerumah aku?”

“Nggak lah, ayo jalan-jalan..”

“Lha, aku kan masih bau.. belum mandi nih..”

“Nggak apa-apa, aku bawa penutup hidung nih, saputangan,” kata Palupi yang tanpa rikuh sudah siap dipintu depan mobil.

“Wah, nekat nih.. oke deh.”

Lalu Danang pergi dengan membawa serta Palupi.

***

“Kemana nih?” tanya Danang ketika dijalan.

“Terserah kamu .. kemana mau membawaku..”

“Wouwww... enak nih, bisa membawa kabur kakak ipar.”

“Aku lagi suntuk..”

“Kenapa? Sedih, saingan sama MIrah?” goda Danang yang tak peduli pada kemelut rumah tangga kakaknya.

“Gila juga, masa aku harus bersaing sama Mirah? Ogah !!”

Danang tertawa gelak-gelak.

“Iyalah mbak, kamu jauh lebih cantik, lebih wangi. Yang bodoh aja yang lebih memilih Mirah.”

“Tuh kan.. baru kamu yang mau membela aku.”

“Aku bela mbak Lupi dong.. masa aku membela Mirah?”

Lupi merasa senang. Bercanda dengan adik iparnya membuatnya serasa tak ada beban. Ia mau selamanya begitu.

“Ayuk beli sate Nang..”

“Sate kambing? Jangan, itu membuat suasana jiwa jadi panas, nanti aku bisa salah sasaran,” candanya.

“Heeh, apa maksudmu ? Sate ayam lah, di Nonongan.”

“Oh, kirain..”

“Sudah lama aku tidak makan sate..”

“Baiklah, siapa takut?”

Tapi ketika mobil berhenti di warung sate, ponsel Danang berdering.

“Widi ? Ngapain pakai menelpon segala.”

Danang membuka ponselnya.

“Mas, kamu dimana sih, aku menelpon berkali-kali nggak diangkat,” omel Widi.

“Iya, tadi nggak dengar. Ada apa? Kangen sama aku ya?”

“Iih, norak. Ini, bude ada dirumahku, jemput ya?”

“Lha..? Ibu ada dirumah kamu? Tumben.”

“Sudah dari siang tadi, jemput sekarang ya mas.”

“Eit, tunggu.. tolong bilang sama ibu, Danang lagi ada pekerjaan nih. Coba kamu pesenin taksi deh.”

“Ya ampuun, pekerjaan apa lagi sore-sore begini?”

“Aah, kamu anak kecil tahu apa.. sudah, budemu dipesenin taksi, dan bilang kalau aku sedang ada tugas dan tidak bisa menjemput.”

Widi menutup ponselnya dengan kesal.

***

“Gimana Wid?”

“Mas Danang lagi repot bude, sedang ada pekerjaan, jadi saya disuruh mesenin taksi saja.”

“ Hm, kebiasaan anak itu, memang sudah sa’atnya pulang, tapi dia jalan-jalan dulu.”

“Apa nggak capek, pulang kerja langsung jalan-jalan.”

“Itulah keponakanmu yang satu itu Man, biasanya pulangnya malam, nggak tahu kemana dulu, berkali-kali ditegur juga nggak berubah.”

“Ya sudah disini dulu mbakyu, pulangnya menunggu kalau Danang sudah bisa menjemput.”

“Waduh, ya capek aku Man. Belum tentu pulangnya jam berapa. Sudah Wid, kamu panggilin taksi saja, aku biasanya kalau siang juga harus tidur.”

“Bude tidur dulu disini, bagaimana ?”

“Nggak Wid, carikan taksi saja, nggak enak meninggalkan rumah lama-lama, nanti simbok juga bingung. Kan sore dia harus pulang.”

“Oh, iya.. simbok harus pulang ya bude, baiklah, Widi pesenin taksi dulu.”

***

“Kemana lagi kita?” tanya Danang setelah makan sate di Nonongan.

“Kemana saja, pokoknya jangan pulang dulu..”

“Waduh, nanti aku dikira nyulik isteri orang, bagaimana?”

“Culik saja, yang diculik juga mau kok.”

Danang terbahak.

“Nantang nih ?”

“Sungguh Nang, aku lagi stress nih..”

“Lha kenapa? Orang cantik bisa stress juga ?”

“Tampaknya mas Handoko sudah tidak lagi menginginkan aku.”

“Masa? Karena Mirah?”

“Mungkin. Ketika aku bilang, Mirah suruh pergi atau ceraikan aku, mas Handoko bilang tak akan menyuruh Mirah pergi, untuk aku terserah aku mau apa, gimana maksudnya? Membuang aku bukan?”

“Katika ia harus memilih.. tampaknya dia memilih keduanya, bagaimana mbak?”

“Ogah aku bersaing dengan MIrah.”

“Jadi...?”

“Mirah harus aku singkirkan.”

***

Malam itu Mirah melayani makan malam tuan gantengnya dan juga Bintang. Wajahnya kusut, ada rona sembab disana. Handoko ingin mengatakan banyak hal, tapi ada Bintang, nanti Bintang bertanya-tanya.

“Ini lauk yang tadi kita beli ya Rah?”

“Iya bapak. Sudah Mirah panasi. Mas Bintang juga makan pakai soto yang tadi kita beli.”

“Ini enak, tapi menurut aku, lebih enak masakan kamu lho Rah.”

Mirah tersenyum, tapi senyuman itu terasa sangat hambar.

“Aku besok mau digorengin ayam ya yu.”

“Oh .. goreng ayam? Baiklah.. nanti yu Mirah gorengin yang enak buat mas Bintang.”

“Tadi tidak belanja ayam Rah.”

“Di kulkas masih ada ayam.”

“Oh, baguslah.. kalau perlu besok kita belanja ya Rah, sambil jalan-jalan lagi.”

Tapi Mirah tidak menyahut. Kepergiannya bersama tuan gantengnya siang tadi telah membawa petaka bagi jiwanya. Menyesak dan sakit terasa.

“Mirah, kamu jangan memikirkan apapun, kamu tetap disini, bersama aku dan Bintang," bisik Handoko.

Lagi-lagi Mirah hanya tersenyum.

Malam itu Handoko ingin berbincang dengan Mirah, tapi Mirah sudah tertidur bersama Bintang. Barangkali Mirah lelah karena hampir seharian baru pulang.

***

Pagi hari itu ketika Handoko terbangun, dilihatnya segelas kopi susu sudah tersaji dimeja. Hidung Handoko mencium masakan yang sangat gurih. Tampaknya Mirah sudah menggoreng ayam pesanan Bintang. Handoko bergegas kebelakang, diruang makan makanan sudah tersaji. Handoko membuka tudung saji, ada sup dan goreng ayam. Handoko menutupnya lagi.

“Rah...”

Tak terdengar jawaban. Kamar mandi terbuka, berarti Mirah tidak sedang mandi. Barangkali dikamarnya.

“Mirah..”

Kamarnya juga sepi.. pergi kemana Mirah. Lalu terdengar teriakan Bintang.

“Yu Miraaaah...”

Handoko mencarinya keseluruh ruangan. Ia membuka kamar Mirah. Kosong. Ranjangnya tertata rapi.

“Yu Miraaah... aku minum susu...!”

Hati Handoko tercekat.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                          

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15