SANG PUTRI 10

SANG PUTRI  10

(Tien Kumalasari)              

 

“Yu Miraaah....” Bintang berteriak, dan kali ini sambil menangis.

Handoko kebingungan, ia melangkah kearah Bintang.

“Bintang, jangan menangis, sini.. ayo kita cari yu Mirah. Mungkin lagi belanja, ayo sayang, kita cari kedepan,” kata Handoko sambil menarik lengan Bintang.

“Nah, bangun ya, bapak kan belum bisa menggendong.”

“Mau pipis...”

“Oh ya, baiklah..” Handoko duduk disebuah kursi, meletakkan kruknya lalu melepas celana Bintang.

“Bisa pipis sendiri kan?”

“Yu Miraah..”

“Sebentar, yu Mirah sedang pergi, ayo kekamar mandi sendiri.. ma’af ya, bapak belum bisa menggendong Bintang.”

Bintang berjalan kearah kamar mandi.  Handoko gelisah bukan alang kepalang. Ia kemudian memasuki kamar Mirah. Almarinya setengah terbuka, Handoko membukanya lebih lebar, dan ia benar-benar terkejut.  Mirah membawa semua pakaiannya. Berarti Mirah pergi? Ia mencoba menelpon Mirah. Tapi ponselnya tidak aktif.

“Ya Tuhan...”

Handoko kembali duduk dikursi, dengan tubuh lunglai.

“Bapaaak, bajuku basah...” teriak Bintang..

Aduh, Handoko masuk kekamar Bintang, membuka almari dan mengambil baju serta celana lalu kembali duduk dikursi. Ia harus duduk karena satu kakinya belum bisa menopang tubuhnya.

“Sini Bintang, ini baju kamu.”

Bintang mendekati bapaknya, Handoko melepas bajunya yang basah dan menggantikannya.

“Mengapa bisa basah ?”

“Keguyur air.”

“Oh, baiklah.. nggak apa-apa..nih, bajunya sudah, sekarang celananya ya..”

“Bintang mau susu..”

“Oh, baiklah..”

Handoko menuju dapur, menghampiri meja tempat membuat minuman. Ia tak tahu berapa ukuran susu untuk Bintang, ia harus membaca dulu petunjuk dikalengnya, baru membuatnya, aduhai.. tidak mudah mengurus bocah bukan?

“Bapaaak, mana susu...” Bintang berteriak, sementara Handoko sedang mengaduk susunya. Ia melakukannya sambil duduk.

“Sebentar ya, ini sudah siap..” Handoko tertatih lagi mendekati Bintang.

“Ini sayang, sambil duduk dong, kalau minum. Nah begitu.”

Bintang menghabiskan susunya. Handoko bernafas sedikit lega. Tapi pikirannya benar-benar kacau. Rumah ini hanya Mirah yang bisa mengaturnya. Rapi tatanan perabotnya, rapi sa’at makan dan minum, rapi sa’at tidur dan terjaga. Sekarang apa? Baru mengurus Bintang saja Handoko sudah kebingungan.

Handoko mengajak Bintang keruang tengah.

“Bintang belum mandi..” celetuk Bintang lagi.

“Ya ampuun.. iya, sebentar ya Bintang..”

Handoko termenung bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika itulah Palupi muncul dari dalam kamarnya, masih dengan wajah kusut dan rambut awut-awutan.

“Dengar, Mirah sudah pergi, sekarang urus anakmu ini.”

“Oh, sudah pergi? Baguslah.. “

“Sekarang urus Bintang, dia belum mandi..”

“Ayo mandi bareng ibu...” ajak Palupi.

“Nggak mau,... nggak mau...” Bintang merengek.

“Apa maksudmu nggak mau? Aku ini ibu kamu. Mengerti ?” kata Palupi dengan nada tinggi.

Bintang merapat ke tubuh bapaknya.

“Bintang, mandi dulu sana, biar wangi..”

“Sama yu Mirah...” rengeknya lagi.

“Mirah jelek itu sudah pergi. Apa kamu tak akan mandi selamanya?”

Handoko mengeluh dalam hati. Merayu anaknyapun Palupi tidak sanggup.

“Bintang, yu Mirah sedang pergi, kamu mandi sekarang sama ibu ya?” Handoko berusaha membujuk. Tapi Bintang menggeleng dengan keras.

“Nggak mauuu.. nggak mau....”

“Nanti habis mandi lalu makan ayam goreng. Itu yu Mirah yang menggoreng lho Bin.. enak pastinya.”

“Sama yu Miraaah...”

“Yu Mirah sudah minggat ! Kamu nggak tahu ya?”

Tak tahan melihat sikap Palupi, Handoko membentaknya.

“Diam kamu!!  Mengambil hati anak saja tidak becus !!” kata Handoko tandas.

“Ayo.. mandi sama bapak saja ya? Bareng bapak ya?” katanya kepada Bintang.

Bintang mengangguk. Handoko membawanya masuk kekamar. Ada bangku disana, Mirah yang menyiapkannya, agar mudah bagi Handoko setiap kali mandi karena ia selalu melakukannya sambil duduk.

Handoko menarik bangku itu kedalam kamar mandi.

“Ini untuk apa?” tanya Bintang.

“Kaki bapak kan masih sakit, jadi kalau mandi harus sambil duduk, belum kuat kalau berdiri.”

Bintang melepas semua pakaiannya. Handoko membantunya sambil duduk, lalu ia mengisi air kedalam bathup.. lalu membiarkan Bintang masuk kedalamnya. Bathup nya cukup besar, sehingga mereka bisa berendam berdua. Bintang senang bukan alang kepalang. Ia bercanda saling menyiramkan air sambil terkekeh-kekeh. Sejenak rasa kehilangan Mirah terlupakan.

Palupi mendengar celoteh dan tawa mereka di kamar mandi, wajahnya gelap bagai tertutup mendung. Tak ada yang benar yang dilakukannya. Selalu saja dia dianggap salah. Lalu  ia masuk kekamar makan, membuka tudung saji, mencomot sepotong paha ayam goreng lalu berjalan kearah teras, mengunyah paha ayamnya sambil menyilangkan kaki.

Benarkah kepergian Mirah akan membuatnya menjadi sang putri dirumah itu?

***

Handoko melayani makan Bintang sendirian . Palupi duduk diteras, belum mandi dan belum rapi, sementara anak dan suaminya sudah wangi. Handoko masih berfikir tentang Mirah, sementara tangannya meladeni anak gantengnya makan.

“Ayamnya harus dipotong-potong?” tanya Handoko.

“Iya bapak. Dipotong-potong.”

Biasanya Mirah melakukannya, memotong-motong ayam untuk Bintang dan untuk dirinya, tapi kali ini Handoko yang melakukannya. Sambil mengiris ayam, maka batinnyapun seakan ikut teriris.

“Mengapa yu Mirah lama sekali?” Bintang mulai merengek setelah selesai makan,

“Nanti ya.. coba ditunggu sebentar lagi..” kata Handoko yang tak yakin bahwa Mirah akan kembali.

“Mau main sama yu Mirah...”

Bintang mulai rewel.. sementara Palupi tak peduli. Gemas Handoko menyaksikan Palupi duduk tanpa beban.

“Lupi, sekali lagi aku mau bilang dan ini yang terakhir. Apa kamu mau mengurus rumah tangga kamu atau tidak?”

“Apa sih mas, kaget aku.”

“Kamu senang Mirah pergi, lalu siapa yang mengurus rumah ini? Rumah berantakan, anak tidak diurus.. apa mau kamu?”

“Aku kan sudah melakukannya, tapi dia tidak mau. Harus bagaimana lagi?”

“Kalau begitu bersihkan rumah dan cuci piring-piring kotor.”

“Aku sudah minta tolong teman aku untuk mencarikan pembantu, sabar lah mas.”

“Aku tidak mau pembantu. Aku mau kamu yang melakukannya.”

“Enak saja.. aku nggak mau. Aku ini isteri kamu.”

“Kamu rupanya tidak mengerti juga bagaimana tugas seorang ibu rumah tangga. Baiklah, aku akan mengajak Bintang mencari Mirah.”

“Apa?”

“Bintaaang...” Handoko melangkah kebelakang, menemui Bintang yang sedang bermain mobil-mobilan.

“Bapak.. aku mau yu Mirah... “

“Baiklah, ayo kita cari yu Mirah.”

Handoko memanggil taksi, lalu pergi bersama Bintang kekampungnya Mirah.

***

Palupi yang tetap tak mengerti apa sebenarnya yang salah dalam hidupnya, menelpon Danang. Danang dianggapnya selalu bisa menenangkan hatinya.

“Danaaang..” panggilnya ketika menelpon.

“Ada apa mbakyuku yang cantik..”

“Nanti pulang kantor samperin aku ya..”

“Lho, mau kemana?”

“Aku lagi suntuk.. mas Handoko sama Bintang pergi..”

“Kenapa nggak ikut sekalian.. malah ngajakin aku..?”

“Ogah, mereka pergi menjemput Mirah.”

“Memangnya Mirah kemana ?”

“Minggat !”

“Yaah, seneng dong pesaing sudah minggat.”

“Hiih, ngapain... aku bukan pesaing dia. Enak aja, jauh lah aku sama Mirah.”

“Iyaa, tentu saja..”

“Kenapa kamu selalu bilang bahwa aku  pesaing dia?”

“Hehe... ma’af deh.. maksudku dalam merebut hati mas Handoko.”

“Itupun aku tidak bersaing,, Dia itu perusak.”

“Baiklah, aku jemput sa’at istirahat kantor saja ya..”

“Buruan, itu lebih baik..”

“Iya.. aku tahu, kan mbakyuku ini ngangenin.. kalau boleh semalam aku nggak akan mulangin kamu lho mbak.”

“Ooo.. ketagihan ya..”

Danang tertawa lalu menutup pembicaraan itu. Palupi beranjak kebelakang. Dimeja makan semua makanan masih tertata, tapi sup sudah dingin. Palupi memanaskannya, lalu duduk makan dengan lahap.

“Nggak enak.. kata siapa masakan begundal itu enak?” Palupi berdiri, lupa bahwa ia menghabiskan semangkuk sup dan sepotong ayam goreng besar.

“Aduuh, siapa yang akan mencuci piring dan mangkuk kotor ini?”

Palupi  mengangkat piring-piring kotor dari atas meja, tapi hanya diletakkannya didalam bak cucian.

“Biar saja,  sisa makanan juga biar disitu saja. Kelamaan mengurusnya. Kapan aku mandi?” gumamnya sambil melangkah kedalam kamar mandi.

Ada orang yang peduli ketika orang lain mengkritiknya, lalu berusaha untuk memperbaiki langkahnya. Tapi ada juga orang yang tak peduli akan suara apapun, dan terus melakukan hal yang disukainya. Palupi merasa semua orang menyalahkannya. Tak ada kebaikan pada dirinya, dan itu hanya membuatnya sakit hati, bukan kemudian berusaha memperbaiki diri. Ia ingin disanjung, dipuji, dan itu didapatkannya dari Danang yang sesungguhnya juga hanya ingin mencari kesenangan.

***

Siang itu Ryan mengajak Widi makan siang disebuah restoran. Sesungguhnya Ryan kecewa karena pak Tarman belum memberikan ijin untuk mereka pacaran. Mereka ketemuan hanya dengan berkencan disuatu tempat. Widi merasa bapaknya menganggapnya masih anak kecil yang belum pantas pacaran.

“Tahun depan kuliahmu selesai bukan?” tanya Ryan.

“Iya.. in shaa Allah..”

“Apakah mungkin bapak akan mengijinkan setelah kamu selesai kuliah?”

“Semoga ya mas.. Mas harus sabar..aku sudah minta tolong kepada mas Handoko untuk bicara sama bapak, cuma ..ya.. sa’at ini kan mas Handoko lagi sakit, dan kayaknya rumah tangganya lagi kacau begitu..”

“Iya aku tahu..”

“Kemarin kan mbak Lupi marah-marah karena menuduh mas Handoko selingkuh.”

“Aku kok nggak percaya.”

“Iya, dan kalaupun iya, itu kan salah mbak Palupi sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan mas Handoko.”

“Iya sih.. tapi.. lihat siapa yang barusan masuk ..” kata Ryan tiba-tiba.

Widi menoleh kearah pintu masuk, dan melihat Palupi bergandengan tangan dengan Danang.

“mBak Lupi sudah gila..” desis Widi geram.

“Itu selingkuhannya Palupi?”

“Itu adiknya mas Handoko, mas Danang.”

“Wah.. benar-benar gila dia. Ayo kita segera pergi saja, sudah kan makannya?”

“Iya, untunglah mereka tidak melihat kita dan duduk agak jauh dari kita.”

Ryan dan Widi keluar dari rumah makan.

“Aku akan bilang pada bude, mas Danang itu keterlaluan, dan mbak Lupi juga kebangetan.”

“Apa sekarang kamu aku antar kerumah bude?” tanya Ryan yang sudah tahu siapa yang dimaksud dengan bude.

“Iya mas, nggak apa-apa, kalau itu keterusan kasihan mas Handoko.”

“Apa tidak sebaiknya ke mas Handoko saja dulu? Kasihan nanti bude kaget.”

“Gimana ya enaknya?”

“Ke mas Handoko saja.. mungkin kita bisa bicara lebih enak.”

Tapi ketika sampai dirumah Handoko ternyata rumah itu kosong.

“Kemana ya mas Handoko? Jalan-jalan sama Bintang barangkali. Coba aku tilpon.”

“Ya Widi?” sapa Handoko ketika menerima telpon Widi.

“Mas dimana? Aku kerumah sama mas Ryan nih. Jalan-jalan sama Bintang ya? Aku susul ya.”

“Bukan, aku lagi mau kerumah Mirah.”

“Kerumah yu Mirah? Mengantar yu Mirah pulang kampung?”

“Tidak, Mirah pergi dari rumah, Bintang rewel nih.”

“Haaa, yu Mirah pergi? Ada apa sebenarnya?”

“Palupi lah penyebabnya..”

“Diusir sama mbak Palupi ?”

“Tidak secara langsung. Mirah mendengarnya, pagi-pagi ketika aku bangun dia sudah nggak ada. Aku nggak tahan nih, Bintang rewel..  lalu aku ajak dia mencari Mirah.“

”Ya ampuun, sampai segitunya ya. Ya sudah mas, agak sore saja aku kerumah.”

Widi menutup ponselnya dengan menampakkan raut muka sedih.

“Kenapa ?”

“Yu Mirah pergi,”

“Kemana?”

“Nggak pamit, pergi begitu saja. Tampaknya mendengar mbak Lupi ngomong apa, gitu.”

“Kasihan Bintang.”

***

Tapi sesampai dirumah orang tua Mirah, ternyata Mirah tak ada disana. Bintang menangis sepanjang perjalanan pulang.

“Yu Mirah mana.. yu MIrah mana.. aku mau yu Mirah...”

“Bintang, nanti kita cari yu MIrah ditempat lain ya.. diamlah, nggak malu tuh.. nangis terus.. kan Bintang sudah besar.. katanya sudah mau sekolah..?”

“Nggak mau sekolah.. maunya yu Mirah...”

“Ya.. ya, baiklah.. tapi Bintang harus diam dulu dong..”

“Mana yu Mirah.. aku mau yu MIrah..”

“Sayang.. ayo kita cari yu Mirah. Tapi jangan nangis ya. O.. bapak tahu, bagaimana kalau kita beli es krim dulu.”

“Nggak mau.. Bintang mau yu Mirah..”

Handoko memeluk Bintang, ia juga ingin menangis. Kepergian Mirah membuat hatinya kosong, seakan ada yang hilang, seakan ada yang kurang.

Hari sudah sore ketika itu, Handoko masih dalam perjalanan bersama Bintang yang merengek tak henti-hentinya.

Handoko juga tak mengajak Bintang berhenti untuk makan pada siangnya karena Bintang menolak sambil menangis keras.

“Nggak mau makan.. mau makan sama yu Mirah.. sama yu Mirah..”

Handoko kehabisan kata-kata untuk menghentikan tangis Bintang, ia hanya memeluknya erat sambil menitikkan air mata.

Untunglah tak lama kemudian Bintang tertidur. Handoko sedikit lega. Sesampai dirumah Handoko menidurkannya dikamar dengan hati-hati. Untunglah tukang taksi tadi membantunya menaikkan Bintang dalam gendongan.

***

Mirah memang belum pulang ke kampungnya. Dengan membawa tas yang berisi pakaiannya, ia berhenti disebuah mushola. Bersujud disana dan mengadukan perjalanan hidupnya yang terasa pedih kepada Sang Pemilik Kehidupan ini.

Hanya satu yang membuatnya berat melangkah pergi, yaitu Bintang. Bintang sangat dekat dengannya. Ia pasti menangis dan mencari-cari dirinya. Makan, mandi, tidur, selalu bersamanya. Bagaimana kalau kemudian Bintang sakit?

“Mas Bintang, kasihanilah yu Mirah ya mas, kalau dirumah terus yu Mirah merasa amat tersiksa. Ibu menghendaki yu Mirah pergi, dan yu Mirah tak ingin menjadi duri dalam daging bagi ibu. Biarkan yu MIrah pergi ya mas Bintang. Jangan rewel, jangan mencari yu Mirah lagi. Jadilah anak baik dan penurut, sebentar lagi mas Bintang kan mau sekolah. Sekolah yang pintar ya mas. Lupakan yu Mirah. Cintailah ibu dan bapak. Yu Mirah berharap mereka bahagia.”

Mirah membiarkan air matanya terurai deras. Melepaskan segala duka yang menyesak dadanya. Itu sebabnya ia belum ingin pulang, agar nanti orang tuanya tak melihat tangisnya yang berderai tak henti-hentinya. Sampai sore Mirah belum berhasil menuntaskan tangisnya. Ia lupa makan dan minum, hanya duduk ditangga mushola dan hanya beringsut dari sana ketika  Adzan tiba.

***

Handoko terus menerus membujuk Bintang, dari ketika dia bangun dan rewel, mandi rewel, tapi sa’at makan Handoko sangat memaksanya agar mau makan karena siangnya Bintang sama sekali belum makan.

“Sekarang Bintang harus makan dulu, besok kita cari yu Mirah lagi. Oke?”

“Benar?”

“Benar.. tapi makan dulu ya. Setelah itu tidur. Apa Bintang mau tidur bersama bapak?”

“Dikamar bapak?”

“Iya dikamar bapak.”

“Apa bapak bisa mendongeng?”

“O, bisa dong.. nanti bapak mendongeng, tapi Bintang nggak boleh rewel, ya.”

“Besok mencari yu Mirah lagi kan?”

“Iya.. bapak janji. Tapi sekarang makan dulu ya?”

Handoko senang ketika Bintang menurut ketika diajak makan.

Tapi malam itu ketika sedang menemani Bintang tidur, dan sedang memikirkan sebuah dongeng, ponselnya berdering. Berdebar Handoko membaca dilayar ponselnya. Dari Mirah.

***

Besok lagi ya


 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15