SANG PUTRI 11

SANG PUTRI  11

(Tien Kumalasari)

 

Gemetar tangan Handoko ketika mengangkat ponselnya. Dalam hati dia harus memaksa Mirah supaya kembali.

“Hallo, Mirah...” tapi Handoko terkejut ketika yang terdengar adalah suara laki-laki.

“Ini dengan bapak Handoko ?”

“Iya benar.. ini siapa ya?”

“Saya salah seorang pengurus Mushola Al Hikmah. Saya ingin memberitahu bahwa seorang gadis pingsan didepan mushola. Saya menemukan kontak bapak dari ponsel  gadis itu.

“Pingsan ? Bagaimana sekarang ?”

“Sudah saya bawa kerumah sakit. Rumah Sakit Pusat pak”

“Baiklah..terimakasih informasinya pak, terimakasih juga telah menolong Mirah. Dia adalah.. mm.. keluarga saya. Nanti semua biayanya adalah tanggung jawab saya pak. Saya akan segera kesana.”

Handoko menutup ponselnya dengan hati bingung. Ia ingin segera kerumah sakit, tapi Bintang belum tidur, Bintang memandanginya penuh tanda tanya, karena tadi ia menyebut nama Mirah.

“Yu Mirah.. bapak?”

“Iya sayang, yu Mirah ada dirumah sakit...”

“Yu Mirah sakit? Bintang mau kesana.. mau lihat yu Mirah..”

“Jangan sayang, anak kecil tidak boleh pergi kerumah sakit. Sekarang Bintang tidur dulu, besok telpon sama yu Mirah.”

“Bisa ngomong ?”

“Bisa dong.. tapi karena sudah malam Bintang tidur ya?”

“Bapak kan belum ndongeng..”

“Begini saja. Sekarang Bintang tidur,. Besok bapak ajak ke toko buku, kita beli buku-buku   cerita, nanti bapak bacakan. Oke?”

Bintang mengangguk, ia harus segera tidur karena berharap besok pagi bisa menelpon yu Mirah.

Handoko menepuk-nepuk pantat Bintang, seperti Mirah selalu melakukannya. Tapi ia sangat gelisah, bagaimana bisa melihat keadaan Mirah sementara dia harus menjaga Bintang. Lalu ditelponnya Widi.

“Ya mas, ma’af tadi sore belum jadi kerumah.”

“Nggak apa-apa, aku juga baru pulang agak sore.”

“Ada apa nih mas?”

“Bisa minta tolong Wid?”

“Ya bisa dong, minta tolong apa?”

“Datanglah kerumah, sekarang juga.”

“Memangnya ada apa?”

“Mirah ada dirumah sakit, aku ingin melihatnya, tapi Bintang kan harus ada yang menjaga?”

“Lho, tadi kan mas Handoko kerumahnya?”

“Dia ternyata belum pulang, aku bingung nih, mendengar dia dirumah sakit.”

“mBak Lupi belum pulang?”

“Belum, jangan pikirkan dia, pulangpun belum tentu Bintang mau bersama ibunya.”

“Baik mas, saya kesitu sekarang.”

Handoko sedikit lega. Dilihatnya Bintang sudah memejamkan mata. Handoko masih tetap menepuk-nepuk pantatnya sampai dia benar-benar terlelap.

Widi bergegas masuk kerumah begitu sampai dirumah Handoko.

“Dimana Bintang?”

“Itu, sudah tidur..”

“Itu mas, kok ada kursi ditengah pintu?”

“Itu aku menarik kursi teras dengan susah payah sampai ketengah pintu, lalu aku duduk agar aku bisa membuka pintu sementara Bintang ada dalam gendonganku.”

“Itu ketika mas pulang dari kampungnya yu Mirah?”

“Iya.. kesana nggak ketemu Mirah. Bintang rewel.. aduuh.. aku bingung Wid, untungnya dia tertidur, sebelum sampai rumah. Tapi ya itu, mau masuk rumah susah.”

“Mas juga sambil menggendong Bintang?”

“Iya, sopir taksi membantu menaruh Bintang dalam gendongan, habis mau aku bangunkan takutnya nanti rewel lagi. Susah payah aku membawanya sampai keteras, dengan satu kaki. Ya sudah,  lumayan dia bisa tidur satu jam an atau lebih, setelah itu dia bangun dan masih rewel. Tapi untunglah mau aku ajak makan, dengan janji besok mencari MIrah lagi.

“Bagaimana kejadiannya?”

“Aku tidak tahu, tadi aku kekampungnya tapi ternyata dia tidak pulang. Bintang rewel disepanjang jalan. Dia diam ketika sudah mengantuk dan tertidur.”

“Aduh, bagaimana mas dengan memakai kruk bisa menggendong Bintang?”

“Kan aku sudah bilang, sopir taksi membantu meletakkan Bintang dipundakku, aku sampirkan dibahu kanan, lalu berjalan tertatih. Susah payah sih, dan aku juga membuka pintu rumah setelah menarik kursi yang ada diteras, duduk dulu, mangambil kunci yang sudah aku siapkan, baru bisa membukanya, sampai nggak kebayang kenapa aku bisa melakukan itu semua.” kata Handoko mengulang ceritanya.

“Ya ampun mas, kasihan sekali kamu ini,.hanya dengan kaki satu, menggendong bocah segede Bintang.”

“ Tukang taksi itu masih mengawasi aku sampai aku keteras. Mungkin kalau aku tidak berhasil membuka pintu dia juga akan datang menolong aku.”

“Bagaimana mas tahu kalau yu Mirah ada dirumah sakit?”

“Seseorang menelpon aku..Rupanya Mirah memang tidak langsung pulang kerumahnya. Dia ditemukan pingsan didepan sebuah mushola.”

“Ya ampun, yu MIrah..”

“Sekarang aku harus kerumah sakit?” lanjut Widi.

“Tidak, aku yang akan kesana, aku minta tolong kamu tungguin Bintang.”

“Mas, bukannya aku tidak mau, tapi mas pasti lelah, berjalan dengan satu kaki dan mengangkat beban, lalu sekarang akan berjalan sendiri menyusuri rumah sakit, apa tidak berat?”

“Tidak Widi, aku harus ketemu Mirah.”

“Tunggu, aku akan menelpon mas Ryan.”

“Jangan Widi, aku tidak mau merepotkan orang lain.”

“Tidak mas, aku tidak tega mas berjalan sendiri. Tunggu sebentar.”

Dan Widi nekat menelpon Ryan yang dengan senang hati tak lama kemudian datang.

“Bagaimana mas, saya antar sekarang?” kata Ryan begitu sampai dihadapan Handoko.

“Aduuh.. jadi nggak enak saya, tadinya saya mau berangkat sendiri..”

“Sudahlah mas, saya kan bukan orang lain.”

“Iya mas, sana, sama mas Ryan. Dengan begitu aku jadi merasa lega. Kalau mas Handoko mau berangkat sendiri aku malah kepikiran terus.”

“Baiklah, terimakasih Widi. Tolong titip Bintang, kalau dia minta susu sudah aku siapkan di gelas, tinggal nambahin air termos sedikit, biar anget.”

”Ya mas, siap.”

Widi melepas Handoko dengan perasaan  iba. Sangat berat beban yang disandangnya. Kemana perginya Palupi? Dari tadi siang belum pulang juga?

“Aduh, apa saja yang dilakukan kakak  sepupuku dan iparnya itu?” gumam Widi sambil duduk didekat kamar dimana Bintang tidur,

***

“Mirah itu sangat berarti dalam keluarga saya. Bukan karena saya suka kepada dia, tapi karena dia sangat peduli kepada anak saya, dan juga kepada saya disa’at saya tak mampu melakukan banyak hal,” kata Handoko kepada Ryan dalam perjalanan ke rumah sakit.

“Iya mas, saya melihat Bintang sangat dekat dengan yu Mirah.”

“Sa’at saya sakit, hanya Mirah yang selalu menolong saya. Sa’at saya belum bisa duduk sendiri, tidur sendiri tanpa harus dibantu, hanya Mirah yang melakukannya.”

“Ya mas.”

“Lalu Palupi menuduh saya selingkuh dengan Mirah.”

“Saya juga tak percaya ketika mendengar kabar itu.”

“Kalau begitu sesungguhnya Palupi itu masih mencintai mas Handoko.”

“Ah.. saya kira tidak.”

“Buktinya dia cemburu..”

“Dia bukan cemburu. Dia hanya merasa dikalahkan.”

“Ini tadi dia belum pulang?”

“Belum, kalaupun pulang, apa yang bisa dia lakukan?”

“Tadi siang saya dan Widi melihat Palupi dan seorang laki-laki, kata Widi itu Danang, adiknya mas Handoko.”

“Benarkah ?”

“Tadi siang saya sama Widi mau langsung kerumah mas Handoko untuk memberitahu, tapi mas Handoko pergi.”

“Danang itu orangnya slengekan.. nggak pernah menghadapi apapun dengan serius. Palupi kan suka kalau ada orang begitu.”

“Harusnya mas Handoko menegurnya, supaya tidak keterusan. Itu kan tidak pantas.”

“Banyak hal tidak pantas yang dilakukan Palupi. Aku sedang berfikir harus melakukan apa.”

“Kalau bisa ya diperbaiki ya mas.”

Handoko menghela nafas, sementara mobil Ryan sudah memasuki halaman rumah sakit.

***

Ryan membantu Handoko turun dan memegangi lengannya ketika melangkah. Handoko memang tampak letih. Mungkin bukan hanya raganya, tapi demikian juga dengan jiwanya, Ryan merasa iba, seperti  juga Widi.

Mereka langsung menuju IGD, seorang laki-laki setengah tua mendekat.

“Ini bapak Handoko?” tanyanya.

“Saya Handoko, apa bapak yang menolong Mirah?”

“Oh, ya.. nama gadis itu Mirah. Saya yang tadi menelpon bapak. Saya Ilham, pak.”

“Oh, bapak Ilham, terimakasih banyak telah menolong Mirah. Bagaimana kejadiannya?”

“Ketika kami mau shalat maghrib, tiba-tiba melihat gadis itu terkapar didepan mushola. Lalu kami ramai-ramai membawanya kemari. Saya menemukan ponsel gadis itu yang sa’at itu tidak aktif. Kami membukanya karena ingin tahu tentang kepada siapa kira-kira kami bisa menginformasikan keadaan gadis itu. Ternyata kami menemukan panggilan tak terjawab sampai beberapa kali dari nomor bapak. Makanya saya kemudian menelpon bapak, dan alhamdulillah kalau benar dia keluarga bapak.”

“Iya pak, sekali lagi kami mengucapkan terimakasih. Apa bapak sudah tahu bagaimana keadaan Mirah?”

“Tadi dokter sudah bilang bahwa dia tidak apa-apa, katanya lemas karena belum makan, dan ada yang tampaknya membuat dia sangat tertekan atau mungkin sedang memikirkan apa, entahlah. Yang jelas kesehatannya tidak menghawatirkan. Barangkali juga besok sudah boleh pulang.”

“Oh, syukurlah pak.”

“Kalau begitu saya permisi pulang dulu pak Handoko dan.. ini.. pak..”

“Saya Ryan, saudaranya pak Handoko.”

“Oh.. iya pak Ryan. Saya permisi dulu.”

Handoko meminta ijin untuk menemui Mirah. Mirah sangat terkejut melihat tuan gantengnya tiba-tiba ada didekatnya. Ia juga mengenal Ryan karena Ryan penah bertandang kesana.

“Mirah ?”

“Mengapa bapak datang kemari? Saya tidak apa-apa, saya besok boleh pulang dan akan langsung pergi ke kampung saya,” kata Mirah lirih.

“Tidak Mirah, kamu tidak boleh pulang. Kamu harus kembali kerumah.”

“Mengapa bapak? Tolong kasihanilah saya, saya akan membuat keruh suasana. Tolong bapak, ijinkan saya pergi.”

“Apa kamu tidak kasihan sama Bintang? Kami tadi kerumah kamu di kampung. Kamu tidak ada, dia menangis sepanjang perjalanan, setelah dari pagi terus-terusan memanggil nama kamu. Tolong Mirah, jangan pergi.”

Mirah terisak sedih. Separuh jiwanya tertinggal dirumah itu. Memang berat, tapi separuhnya lagi mengajaknya pergi.

“Jangan menangis Mirah. Aku sedih melihat tangis kamu.”

“Bapak, kasihanilah saya.”

“Apa kamu tidak kasihan sama aku? Sejak pagi menghibur Bintang, mengurusnya sampai aku nyaris kehabisan akal.”

“Bukankah ada bu Palupi?”

“Apa kamu lupa bagaimana perangainya? Bintang sama sekali tak mau dekat dengan ibunya. Tolong Mirah, kalau perlu aku akan bersujud dihadapanmu agar kamu tidak pergi.”

“Ya Tuhan...”

“Itu benar Mirah..”

“Janganlah bapak berkata begitu. Ingatlah saya ini siapa..”

“Kalau begitu kamu besok harus pulang kerumah. Tak bisa aku bayangkan bagaimana senangnya Bintang kalau kamu datang nanti.”

“Bapak.. “ tiba-tiba seorang perawat mendekat.”

“Ibu Mirah harus dirawat, kami akan memindahkannya ke kamar inap,” lanjutnya.

“Baiklah, pilihkan kamar terbaik untuk dia.”

Sementara menunggu, Handoko meminta agar Ryan pulang, tapi Ryan menolaknya.

“Tidak mas, biar nanti kita pulang sama-sama.”

“Tapi ini sudah malam lho mas, nggak enak saya.”

“Nggak apa-apa mas, saya menunggu mas saja.”

Handoko tak bisa berbuat apa-apa. Mereka kemudian mengikuti brankar yang didorong perawat kekamar inap.

“Mirah, kamu disini dulu dan tenangkan hati kamu, besok kami akan menjemput kamu.”

“Bapak.. bagaimana kalau ibu marah?”

“Aku yang akan melindungi kamu Mirah.”

Mirah menghela nafas panjang. Lama dia menimbang-nimbang.

Tiba-tiba ponsel Handoko berdering. Dari Widi, apa Bintang rewel?

“Halo Widi, ada apa?”

“Ini, Bintang terbangun.”

“Rewel?”

“Ia memanggil-manggil yu Mirah.”

“Baiklah, berikan ponsel kamu pada Bintang.”

Lalu Handoko juga memberikan ponselnya pada  Mirah.

“Bintang .. kalian bicaralah.”

“Yu Mirah..?”

Air mata Mirah kembali menetes. Suara yang amat dirindukannya seharian ini.

“Mas Bintang..jangan rewel ya.”

“Yu Mirah sakit?”

“Iya mas..”

“Kapan pulangnya? Aku mau yu Mirah..”

“Mas Bintang.. yu Mirah mau pulang kampung ya?”

“Nggak mau... nggak mau...” dan Bintang menangis keras. Teriris hati Mirah mendengarnya.

“Mas Bintang..” Mirah terisak.

“Yu Mirah jangan pergi.. jangan pergi..”

“Mas Bintang, yu Mirah mau ketemu simboknya yu Mirah dulu ya.”

“Nggak mau.. nggak mau...” tangis Bintang bertambah keras.

Mirah menghela nafas, lalu mengusap air matanya.

“Baiklah mas Bintang, besok yu Mirah pulang.”

Dan Handoko ingin bersorak kegirangan mendengar jawaban Mirah. Ditungguinya Mirah yang masih berbincang dengan Bintang.

Ryan senang melihat Handoko tampak sumringah. Ada harapan yang digenggamnya, besok Mirah mau pulang.

“Besok aku sama Bintang akan menjemput kamu,” kata Handoko sebelum pulang.

***

Malam itu Handoko dan Bintang tidur saling berdekapan. Ada senyum merekah dibibir mereka, menunggu esok yang diharapkannya akan menjadi indah.

Ketika Palupi pulang malam itu, dan masuk kekamar Bintang, agak heran melihat Bintang tidak tidur dikamarnya. Lalu ketika masuk kekamar suaminya, dilihatnya keduanya sedang tidur berdekapan. Ada kesal dihatinya menyadari bahwa Bintang tak mau dekat dengan dirinya. Ia langsung keluar dan menuju kebelakang. Ia bermaksud mengambil air minum, tapi dilihatnya meja makan masih berserakan, dan piring kotor masih menumpuk. Itu termasuk piringnya sendiri ketika makan pagi harinya.  Palupi mendengus kesal.

“Masa ini harus aku yang mengerjakannya? O.. tidaaak...” katanya sambil meneguk segelas air, lalu ia masuk kekamarnya sendiri.

***

Pagi hari itu Palupi mendengar celoteh Bintang. Tak ada rengekan terdengar karena kehilangan Mirah.

“Syukurlah, baru sehari Bintang sudah melupakan pembantu sialan itu. Nanti juga dia pasti akan mau dekat dengan aku,” gumamnya.

Ketika mendengar mobil memasuki halaman, Palupi mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Dilihatnya Handoko dan Bintang pergi naik taksi.

“Mau kemana mereka? Pasti bapaknya ingin menghibur Bintang dengan mengajaknya jalan-jalan.”

Tapi ketika Palupi kebelakang, dilihatnya piring-piring kotor masih menumpuk di bak cucian. Hidungnya mencium bau anyir. Palupi mengernyitkan hidungnya.

“Ada sayur yang busuk.. pasti sup itu.. sejak kemarin tidak dipanasi. Sebel banget melihat semuanya kotor seperti ini,” gumamnya sebal.

Palupi beranjak kedepan, ada bekas minuman yang sejak kemarin masih ada ditempatnya.

“Aduuh... jadi ini yang dimaksud mas Handoko akan menjadi tugasku? Enak saja. Iya benar, pasti mas Handoko sengaja membiarkan rumah kotor dan bau, dan berharap aku akan membereskannya? Hmh.. lihat saja nanti,” omelnya.

Palupi duduk diteras, lalu menelpon seseorang.

“Ya,.. gimana sih bu.. lha iya lah.. oh..sudah? Baiklah.. terimakasih banyak bu Dewi.”

Palupi meletakkan ponselnya. Lalu tiba-tiba datanglah seorang wanita setengah baya. Palupi menatap wanita itu.

“Permisi..”

“Ya..”

“Apa ini rumahnya pak Handoko?”

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15