SANG PUTRI 12

SANG PUTRI  12

( Tien Kumalasari)

 

Palupi masih tetap duduk, menatap tajam perempuan yang baru datang. Ia membawa sebuah tas yang agak besar.

“Mau mencari siapa?”

“Saya disuruh bu Dewi datang kemari. Benarkah ini rumah pak Handoko?”

“Ooh.. kamu pembantu yang dikirim bu Dewi ya?”

“Iya bu..”

“Namamu siapa?”

“Saya Suprih..”

“Sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga?”

“Sudah bu, dulu pernah ikut putranya bu Dewi di Jakarta.”

“Oh, baiklah, bisa masuk mulai hari ini?”

“Bisa bu.”

“Kalau begitu langsunglah bekerja. Ayo ikut aku,” kata Palupi sambil beranjak kebelakang dan Suprih membuntuti dibelakangnya.

Palupi menunjukkan meja makan yang masih belum dirapikan, masih banyak makanan sisa  kemarin dan perabot-perabot kotor yang semuanya sudah berbau.

“Lihat semua, dan bersihkan. Mengerti maksudku?”

“Iya bu, saya mengerti.”

“Oh ya, itu.. kamar didekat dapur itu kamarmu. Letakkan saja bawaanmu didalam sana,” kata Palupi yang dengan enteng menunjukkan kamar Mirah agar ditempati Suprih.

“Ya bu,” lalu Suprihpun meletakkan tas yang dibawanya dikamar itu, yang dengan heran dia membatin,

“Kamar ini sangat rapi. Mengapa kamar pembantu justru tampak rapi sementara diluar itu kotor dan bau?” kata batin Suprih.

“Setelah itu menyapu rumah, mengepel. Aduh.. mana ya alat-alat bersih-bersih.. mungkin disebelah gudang itu, kamu cari sendiri. Pokoknya semua harus bersih. Setelah itu, masuk kekamar sebelah sana itu, itu kamarku. Badanku sakit semua, kamu bisa memijit?”

“Bisa bu.”

“Bagus, kerjakan yang itu dulu. Pusing kepalaku mencium bau-bau tak sedap ini.”

“Baiklah bu.”

Palupi meninggalkan Suprih lalu beranjak kembali ke teras. Tiba-tiba ia ingin sesuatu.

“Supriiiih..” teriaknya.

Suprih meninggalkan pekerjaannya membersihkan meja makan.

“Ya bu..”

“Aduh, tanganmu bau. Cuci bersih dulu tangan kamu, lalu buatkan aku kopi susu. Dimeja dapur ada semuanya, kamu mengerti?”

“Baik bu.”

“Tapi cuci dulu tanganmu dengan sabun, sampai bersih, baru membuat minuman untuk aku, lalu bawa kemari. Semuanya bisa kamu cari didapur.”

“Baiklah,” kata Suprih.

Dalam hati Suprih bertanya-tanya.

“Bagaimana mungkin rumah sebagus ini tampak kotor dan bau. Kalau tidak punya pembantu, apakah si ibu itu tadi tidak bisa kalau hanya sekedar mencuci piring?”

Tapi Suprih tak mau berfikir lebih banyak, yang penting dia mendapat pekerjaan. Lalu ia melakukan semua perintah majikan barunya.

***

“Danang..” panggil bu Ismoyo ketika Danang baru keluar dari kamar.

“Ya bu..” jawab Danang sambil mengucek matanya.

“Kamu tidak berangkat ke kantor? Ini jam berapa , kok kamu baru bangun?”

“Iya bu, badan rasanya lemas.. ini mau mandi.”

“So’alnya kamu pulang larut malam. Sudah gitu, siangnya kamu tidak makan dirumah. Ibu menelpon kekantor tapi katanya kamu sudah keluar. Ponselmu tidak akftif. Kemana saja?”

“Ooh, ada urusan bu..”

“Urusan apa, diurus sampai larut malam begitu?”

“Urusan penting bu... ma’af..”

“Dengar Danang, ibu merasa hidup kamu sangat tidak teratur. Main.. pergi semaunya saja. Segera cari isteri agar hidup kamu lebih tertata.”

“Ibu, cari isteri kan tidak mudah. Coba saja lihat rumah tangga mas Handoko. Dulu buru-buru  menikah karena menemukan gadis  cantik.. ternyata sekarang apa, isterinya binal kayak kuda liar.”

“Hush !!”

“Itu benar bu, kalau Danang, perempuan seperti itu bagusnya hanya untuk bersenang-senang saja. Kalau untuk jadi isteri... jauh bu. Sekarang  Danang  merasa kasihan sama mas Handoko.”

Bu Ismoyo mendesah sedih.

“Iya le, ibu kalau memikirkan kangmasmu itu juga sedih. Siapa yang kira-kira bisa mengingatkan Palupi ya, agar rumah tangganya tetap terjalin utuh dan bahagia.”

“Wah, menurut Danang, mbak Palupi itu susah dikasih tahu bu, dia maunya hanya senang, tidak mau susah, tapi tidak mau dicela, maunya dipuji-puji.  Kalau Danang puji dia.. aduuh.. senangnya bukan main.”

“Ngapain kamu memuji-muji dia?”

“Ya cuma kalau terkadang ketemu bu. Ya sudah Danang mau mandi dulu, terus sarapan lalu berangkat.”

“Sudah hampir jam sepuluh baru mau berangkat ke kantor,” omel bu Ismoyo.

***

Handoko mengajak Widi kerumah sakit agar ketika dia  masuk  maka  Bintang ada yang menemani didalam mobil.

Bintang sangat gembira, berceloteh tak henti-hentinya. Handoko tersenyum haru, anak lelakinya hanya ingin Mirah untuk mendapatkan keceriaannya kembali.

“Ya Tuhan,  bahagia rasanya melihat anakku berceloteh riang.”

Ketika taksi berhenti diarea parkir rumah sakit, Handoko melarang Bintang untuk turun.

“Bintang, anak kecil kan tidak boleh masuk ke rumah sakit, jadi Bintang menunggu disini sama tante Widi, ya.”

”Apakah nanti yu Mirah akan kemari?”

“Tentu saja Bintang. Duduk manis dan jangan kemana-mana.”

“Ya bapak.”

“Hati-hati mas,” pesan Widi  ketika Handoko beranjak turun.

Handoko mengangguk, lalu berjalan tertatih kearah ruang inap Mirah.

Ketika memasuki ruangan Mirah, dilihatnya Mirah sedang duduk ditepi pembaringan, melamun.

“Mirah, kamu sudah siap?”

“Bapak, apakah bapak sudah memikirkan baik dan buruknya seandainya saya kembali?”

“Tentu saja sudah Mirah.”

“Bapak yakin semuanya akan baik-baik saja?”

“Sangat yakin Rah.”

Mirah menghela nafas.

“Sebenarnya saya merasa akan melangkah diatas bara yang menyala.”

“Aku akan memadamkan bara itu Mirah. Ayolah, Bintang menunggu didepan.”

“Mas Bintang? Oh, Tuhanku, sesungguhnya saya kembali hanya karena dia.”

“Dia begitu bersemangat sejak berangkat dari rumah. Bahagianya Bintang hanya ada pada kamu Mirah. Jangan ragu.. ayo pulang..”

Mirah turun dari pembaringan. Semua barang yang akan dibawanya sudah siap sejak pagi-pagi sekali. Ada keinginan untuk kabur saja sa’at itu. Bahkan dia sudah melangkah jauh dari kemarnya, menuju arah keluar.  Tapi tangisan Bintang mengiris jantungnya.  Yu Miraaah.. aku mau yu Mirah.... Dan air mata kembali bercucuran.  Mirah melangkah kembali ke kamarnya, lalu ia hanya termenung, sampai kemudian Handoko menjemputnya.

“Mirah... ayolah..”

Mirah melangkah pelan,

***

Bintang bersorak ketika melihat bapaknya berjalan bersama Mirah. Tak sabar ia melompat turun dan langsung memeluk Mirah.

“Yu Mirah... “

Mirah mengangkat tubuh Bintang, menciuminya bertubi-tubi. Sesungguhnya Mirah tak tega meninggalkan Bintang. Airmatanyapun berlinang-linang.

“Ayo cepat naik..” ajak Handoko.

“Yu Mirah, aku lapar..” kata Bintang pelan. Lalu semua orang tertawa.

“Ya ampun, mas Bintang belum makan?”

“Iya, bangun tidur, mandi langsung mengajak berangkat. Ayo mampir makan dulu saja. “

“Horeee.. yang ada es krimnyaa...” sorak Bintang.

“Tuh Rah, betapa gembiranya Bintang, tega kamu meninggalkannya?”

Mirah memeluk Bintang erat-erat.

“Bapak.. makan yang ada es krim ya..”

“Baik..  mas ganteng..” jawab Handoko riang.

***

Mereka mampir makan-makan dalam suasana riang. Handoko kemudian mulai menilai batinnya sendiri. Benarkah dia memburu Mirah karena Bintang, atau karena dirinya sendiri juga merasa kehilangan ? Aduhai..  Kemarin serasa ada yang hilang dari hatinya, lalu sekarang ia merasa lega.

“Tidak Handoko, kamu tidak pantas melakukannya,” bisik batinnya.

Handoko kembali meminta Mirah duduk satu meja bersama mereka.

“Yu Mirah kemarin pilek.. makanya sakit dirumah sakit..”

“Iya mas Bintang. Masih ingat nya, yu Mirah bilang pilek?”

“Sekarang sudah nggak pilek lagi kan?”

Mirah menggeleng sambil menatap Bintang dengan gemas.

“Nanti makan es krim sama tante Widi ..  sama bapak.. sama Bintang kan?”

“Iya mas Bintang..”

“Besok kalau bapak sudah bisa jalan, kita ke kebun binatang lagi ya yu, tante Widi mau nggak?”

“Mau dong..  duuh.. senengnya. Di kebun binatang lihat apa saja Bin?”

“Ada gajah.. ada.. kijang.. ada kera.. aku kemarin belum jadi memberi makan kera..”

“Kenapa?”

“Habis.. bapak kasihan.. kakinya masih sakit.”

Handoko tertawa.

“Besok kita kesana lagi, Bintang boleh kasih makan kera. Oh ya, kera tuh sukanya makan apa ya?”

“Kata yu MIrah.. pisang.. kacang juga suka.. Ya kan yu..?”

“Iya mas Bintang..”

“Bapak, nanti kita jalan-jalan lagi kan?”

“Lain hari Bintang, bukan sekarang. Yu Mirah kan habis sakit, nanti kecapekan.”

“Besok kan?”

“Kalau bapak sudah bisa jalan sendiri, Bintang.”

“Bapak katanya mau beli buku cerita..”

“Haa, buku cerita nanti biar tante Widi yang beli Bintang,” kata Widi yang mendengar Bintang banyak permintaan.

“Benar?”

“Benar, besok tante yang belikan.”

Sudah siang ketika mereka meninggalkan rumah makan. Handoko menyuruh Mirah beli lauk untuk makan dirumah, supaya Mirah tidak usah masak hari ini. Handoko juga menyuruh Mirah beli oleh-oleh untuk bapaknya Widi.

***

“Pijitan kamu enak Prih, aku mau setiap hari kamu memijit aku ya Prih..” kata Palupi sambil merem melek menikmati pijatan Suprih.

“Syukurlah bu.”

“Aku jadi ngantuk, padahal aku mau pergi siang ini.”

“Nggak apa-apa bu, nanti habis pijat ibu mandi dengan air hangat, pasti rasanya lebih segar.”

“Iya juga sih. Ya sudah sebentar lagi saja.. ini Prih, di tengkuk sini... nah.. gitu.. agak  keras sedikit .. wahh.. enaknya.. Coba lihat Prih, ini jam berapa, itu diatas itu kan ada jam.”

“Jam setengah duabelas kurang lima menit bu.”

“Ya sudah Prih, berhenti dulu, kamu boleh istirahat, aku mau mandi lalu pergi arisan. Bisa terlambat kalau keenakan pijit.”

“Ya bu.”

Suprih meninggalkan kamar Palupi, lalu beranjak kebelakang. Ia belum makan, dan tak ada makanan didapur. Lalu ia masuk kekamar Palupi.

“Bu, bolehkah saya menanak nasi? Barangkali nanti ibu lapar.”

“Oh, ya.. dari pagi aku juga belum makan, tapi aku sudah makan roti. Kalau kamu lapar, masak saja apa yang ada dikulkas, atau kalau capek ya goreng telur, cukup kan?”

“Iya bu, gampang.”

Suprih kedapur lagi, dicarinya sendiri dimana tempat beras, karena kalau bertanya pada ndoro putrinya pun pasti dia juga tidak tahu. Dari tadi Suprih disuruhnya mencari sendiri apa yang diperlukannya.

Akhirnya Suprih menemukan tempat beras yang dicarinya. Seberapa banyak ya dia harus mengambil berasnya? Untuk makan siapa saja sebenarnya nasi ini nanti? Aku tidak menemukan penghuni lain dirumah ini kecuali bu Palupi. Lalu mana yang namanya pak Handoko? Suprih ingin bertanya tapi merasa sungkan. Lalu Suprih menanak beras setengah mangkuk dari ukuran yang ada saja. Setelah itu  ia membuka kulkas,  tak ada sayuran.. tak ada ikan.. rupanya si pemilik rumah belum belanja. Jadi Suprih kemudian menggoreng telur saja.

Belum satu jam sa’at nasinya matang, Suprih lalu makan dengan lahap. Ia benar-benar lapar setelah bekerja sangat berat dihari pertamanya dia bekerja.

“Supriih.. aku berangkat ya, taksiku sudah datang. Jangan lupa kunci pintunya,” teriak Palupi dari arah depan.

Suprih bergegas kedepan, lalu mengunci pintu.  Ketika berjalan kearah belakang, Suprih mengamati foto-foto yang terpampang ditembok.

Ada foto anak kecil sedang duduk diatas sepeda roda tiga. Suprih memandanginya dengan kagum.

“Ganteng sekali, apakah ini anaknya bu Palupi? Oh, ada lagi, anak kecil itu dan seorang laki-laki gagah. Itukah yang namanya pak Handoko? Hm.. bapaknya ganteng, ibunya cantik, pantas kalau anaknya juga ganteng. Tapi kok nggak ada foto pak Handoko dan bu Palupi ya.”

Suprih kemudian masuk kekamar yang oleh Palupi disuruhnya menempatinya. Suprih membaringkan tubuhnya. Sungguh terasa letih setelah membersihkan seluruh rumah sehingga bau anyir tak lagi tercium.

***

Ditengah jalan setelah menurunkan Widi, Bintang mengantuk. Mirah merangkulnya dan membiarkannya tertidur.

“Mirah, lihat, dia tampak begitu tenang dalam tidurnya, tidak seperti kemarin yang sebentar-sebentar terbangun lalu memanggil-manggil namamu.”

Mirah tersenyum.

Handoko yang duduk disampingnya menatap senyum itu. Dan lagi-lagi Handoko merasa bahwa senyum itu alangkah indah, manis dan tulus.

Handoko menghela nafas. Menata batinnya yang dianggapnya keterlaluan.

“Bagaimana rasa badanmu sekarang?”

“Tidak apa-apa bapak, mungkin Mirah kelaparan, dari pagi sampai siang tidak makan dan minum, berjalan tak tentu arah.”

“Kamu membuat bingung aku dan Bintang. Kamu bisa membayangkan tidak, dalam keadaan berjalan dengan satu kaki dan hanya dibantu kruk yang aku pakai itu, aku menggendong Bintang sejak turun dari taksi, lalu susah payah membuka pintu rumah, lalu menidurkan Bintang diranjangku.”

“Memangnya bapak dan mas Bintang dari mana?”

“Bagaimana kamu ini Rah, apa aku belum cerita, kemarin aku dan Bintang mencari kamu kekampung, tapi tidak menemukan kamu. Bintang rewel sepanjang jalan, lalu ketiduran karena letih menangis. “

“Lalu bapak menggendongnya dan membawanya masuk kerumah?”

Handoko mengangguk.

“Ya ampun bapak.. tidak terbayang oleh saya, bagaimana ribetnya bapak waktu itu.”

“Ribet karena harus menghibur Bintang , ribet karena kehilangan kamu,” kata Handoko sambil menatap Mirah. Sa’at itu  Mirah juga sedang menatapnya. Mirah terkejut oleh perasaannya, lalu dia mengalihkan pandangan keluar melalui kaca mobil.

“Bagaimana  dengan ibu ?”

Handoko mengkela nafas berat.

“Bintang tidak mau dekat dengan ibunya, karena ibunya juga terlalu kaku dan kasar dalam mendekati anaknya.”

“Sebaiknya bapak bicara baik-baik dengan ibu.”

“Bicara tentang apa?”

“Tentang bagaimana seharusnya ibu bersikap.”

“Aah...” Handoko hanya mendesah.

“Sungguh bapak, saya ingin agar rumah tangga bapak kembali baik seperti sebelumnya. Ma’afkan kalau saya lancang.”

“Aku juga ingin begitu.”

“Kalau begitu lakukanlah sesuatu, bapak. Suasana panas didalam rumah tangga kan tidak nyaman untuk dinikmati. Terkadang saya miris mendengar ketika bapak berdebat dengan ibu.”

Lalu Mirah mendekap mulutnya sendiri. Ia merasa kelepasan bicara.

“Bapak, ma’af.. saya kelepasan bicara. Saya tidak pantas mengatakan semua itu. Ma’af bapak.”

Kali ini Handoko menepuk tangan Mirah.

“Tidak apa-apa. Kita adalah keluarga, saling mengingatkan itu bagus. Terimakasih Mirah.”

Mirah gemetar,  Handoko terlalu lama memegangi tangannya. Mirah menariknya dengan halus.

***

Handoko merasa lega karena berhasil membawa Mirah pulang. Mirah menggendong Bintang kearah kamar, lalu kembali mengambil tas yang masih tertinggal di mobil.

Handoko heran melihat rumahnya bersih. Berarti Palupi bisa melakukan tugas seorang ibu rumah tangga dengan baik. Handoko melangkah kebelakang. Ruang makan rapi, piring dan perkakas kotor yang semula terserak dibak cuci sudah tak ada lagi. Semuanya rapi.

Handoko menghela nafas lega.

“Apakah ini awal kebaikan yang ditunjukkan Palupi kepadaku? Benarkah aku harus mema’afkan Palupi dan hidup penuh damai dan nyaman?” gumam Hadoko.

Tapi tiba-tiba Handoko terkejut, ketika mendengar teriakan Mirah.

“Haahhh? Siapa kamu?”

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15