SANG PUTRI 13

SANG PUTRI 13

(Tien Kumalasari)

 

Handoko melangkah kearah suara. Mirah sedang berdiri ditengah pintu kamarnya. Lalu Handoko melihat seorang wanita didalam, berdiri menatap Mirah dengan heran.

“Saya yang harus bertanya .. kamu itu siapa?” tanya Suprih.

“Kamu yang harus bicara, kamu itu siapa? Ini rumahku. Dan ini kamarnya dia,” kata Handoko sambil menatap tajam Suprih, lalu menunjuk kearah Mirah.

“Oh, ya ampun.. ini bapak Handoko?” lalu Suprih menjadi ketakutan.

“Kamu itu siapa?”

“Saya..  saya.. pembantu baru dirumah ini..”

“Apa ? Siapa menyuruh kamu menjadi pembantu disini?”

“Ss..saya dikirim oleh.. bu Dewi... lalu.. saya.. sudah.. sudah.. ketemu bu Palupi..”

“Hm.. Palupi? Mana dia sekarang?”

“Tadi.. tadi pergi katanya.. mau arisan...”

“Ya Tuhan...”

Mirah kebingungan harus berbuat apa..

“Mirah, kamu ke kamarnya Bintang dulu,” perintah Handoko.

Mirah melangkah kekamar Bintang dengan bingung.

Kemudian Handoko tahu, ternyata yang bersih-bersih rumah dari depan sampai kedapur adalah perempuan itu. Handoko mengira Palupi yang melakukannya, dan dia siap berdamai dengan kekesalan hatinya, ingin membangun hidup tenang bersama  Palupi, walau secara pelan, karena awal yang ditunjukkannya  menunjukkan bahwa Palupi mulai bisa memperbaiki diri. Tapi sekarang semuanya buyar. Ternyata bukan Palupi yang melakukan semuanya, tapi pembantu itu.

“Siapa namamu?”

“Saya.. Suprih, bapak. Apakah bapak akan mengusir saya?” tanya Suprih memelas, karena sesungguhnya ia amat membutuhkan pekerjaan, sementara Handoko menatapnya dengan wajah kurang senang.

Handoko menatap mata penuh permohonan itu dan runtuhlah belas kasihan di hatinya. Bukan karena Palupi tapi karena Suprih yang merasa sudah mendapat pekerjaan dan kemudian nyaris dipecat. Tidak, itu bukan Handoko. Lelaki tampan itu penuh kasih sayang.

“Baiklah, apa boleh buat, tapi ini sebenarnya kamarnya Mirah.”

“Dia.. tadi ?”

“Ya, dia mau masuk kekamarnya dan terkejut melihat kamu ada didalam.”

“Kalau saya masih diijinkan bekerja, biarlah saya tidur diatas tikar, didapur saja, tidak apa-apa bapak.”

“Tidak, Mirah biar tidur dikamar Bintang, anakku. Baju-bajunya biar disini.”

“Baiklah, terimakasih bapak..”  Suprih menjatuhkan dirinya, bertumpu pada lututnya dan merangkapkan kedua tangannya.

“Sudah, jangan berlebihan. Jadi tadi yang membersihkan seisi rumah itu kamu?”

“Iya bapak, begitu saya datang bu Palupi menyuruh saya membersihkan rumah dan dapur.”

“Ya sudah, kamu boleh beristirahat.”

Handoko beranjak kekamar Mirah, melihat Mirah berbaring sambil memeluk Bintang.

“Mirah, kamu tidur saja dikamar Bintang, sementara baju-baju kamu biarlah dikamar kamu sebelumnya. Nanti ditambah satu almari lagi.”

Mirah bangkit, wajahnya kuyu. Sesungguhnya ada yang ditakutkannya.

“Mirah, aku ingin menyuruh dia pergi, tapi aku kasihan, dia tampak sangat membutuhkan pekerjaan.”

“Ya bapak, kasihan kalau disuruh pergi.”

“Aku tadinya mengira Palupi melakukannya. Bersih-bersih rumah dari depan sampai ke dapur, ternyata Suprih,” kata Handoko kesal.

“Saya akan menemui bu Suprih, sambil menata lauk yang tadi kita beli.”

“Ya Mirah, aku juga ingin beristirahat.”

***

Mirah meninggalkan kamar Bintang menghampiri Suprih yang masih terduduk di lantai.

“Bu Suprih, saya Mirah..”

“Iya nak, ma’af.. aku tidak tahu kalau ini kamarmu..”

“Tidak apa-apa bu, pakai saja, saya bisa tidur dikamar mas Bintang. Jangan sungkan.”

“Aku juga heran, mengapa bu Palupi tidak memberi tahu suaminya kalau ada pembantu baru.”

“Aku kedapur dulu bu, aku tadi beli lauk matang, supaya tidak memasak hari ini.”

Suprih mengikuti Mirah kebelakang, membantu menata makanan dimeja.

“Tadi aku menanak nasi di magic com, tapi cuma sedikit, habis bu Palupi tidak memberi tahu harus seberapa aku memasak.”

“Nanti saya masak lagi, nggak apa-apa bu.”

“Aku ingin memasak sayur, tapi tak ada sayuran di kulkas.”

“Tadi bu Suprih sudah makan?”

“Sudah, aku menggoreng telur sama kecap.”

“Kasihan bu...”

“Tidak apa-apa, habis aku tidak mengerti harus bagaimana. Bu Palupi hanya menyuruh aku bersih-bersih rumah dan dapur yang sangat kotor, lalu bu Palupi minta dipijit, habis itu bu Palupi pergi arisan.”

“Iya, nanti makan dengan lauk yang sudah siap ini saja. Bisa dipanasin kalau sa’atnya makan.”

“Biar aku menanak nasi lagi, ini sisa sedikit aku keluarkan saja dulu.”

“Ya bu, nggak apa-apa.”

Sejauh ini Mirah merasa bahwa bu Suprih sangat baik.  Ia tahu mengapa ndara putrinya mencari pembantu baru,  Sebetulnya dia merasa tak enak kalau nanti Palupi pulang, lalu memaki-maki dirinya. Ia yakin Palupi sangat membancinya karena mengira dia ada hubungan cinta dengan Handoko.

Sebesar apapun rasa cinta itu, Mirah bisa menempatkan dirinya. Ia tahu dimana dia harus duduk dan dimana dia harus berdiri. Dia juga tak ingin merusak sebuah rumah tangga yang seharusnya dibangun agar tenang dan bahagia.

***

Sore hari ketika Handoko sedang menikmati kopi susu kesukaannya diruang tengah, ia mendengar langkah-langkah kaki memasuki rumah. Palupi pulang. Begitu masuk langsung berteriak.

“Supriiih..”

Tapi sebelum Suprih mendekat ia melihat suaminya duduk sambil menonton acara televisi.

“Aku sudah dapat pembantu baru,” katanya sambil mendekati suaminya.

“Siapa yang menyuruh kamu mencari pembantu baru?”

“Aku sendiri, habis siapa yang akan mengurus rumah kalau aku tiak mencari pembantu?”

Dibalik pintu Suprih urung mendekat karena didengarnya suara yang sedang memperdebatkan dirinya.

“Bukankah aku sudah melarangnya?”

“Aku tidak sanggup mengurusi rumah sendirian.”

“Bagaimana seorang isteri bisa mengatakan hal seperti itu?”

“Lalu mana Suprih? Kamu mengusirnya?”

Tiba-tiba Bintang mendekati bapaknya.

“Bapaaak.. roda mobilnya copot...”

“Oh, iya? Mana coba rodanya, bapak coba perbaiki ya?”

Bintang lari kebelakang, kemudian datang sambil membawa roda mobil-mobilannya yang terlepas.

“Bisakah dipasang lagi? Yu Mirah tidak bisa, bapak..”

“O, begundal itu datang lagi?”

“Bintang sepertinya susah dipasang karena sudah patah. Besok kita beli lagi ya?”

“Ya bapak..” lalu Bintang berlari lagi kekamarnya.

“Kamu tadi memanggil Mirah apa? “ kata Handoko sambil menatap isterinya penuh amarah.

“Dia begundal kan? Lalu apa? Apa aku harus menyebutnya adinda karena dia calon  maduku? Begitu?”

“Tutup mulut kamu Palupi, kesabaranku sudah habis. Mirah tetap disini dan jangan sekali-sekali mengusik atau melukai perasaannya. Kalau itu sampai kamu lakukan...”

“Kalau itu aku lakukan... lalu.. apa?” Palupi menantang.

“Aku ceraikan kamu !!”

Palupi terhenyak.

“Benarkah?”

“Kamu sudah keterlaluan, kesabaranku sudah habis. Tak ada hormat-hormatnya kamu sama suami, tak ada sayangnya sama anak, tak ada pedulinya sama  rumah tangga kamu.”

Palupi membalikkan tubuhnya lalu masuk kedalam kamar, menangis sepuasnya disana.

Suprih tiba-tiba mendekati Handoko dan duduk bersimpuh didepannya.

“Bapak, apakah saya menjadi penyebab kemarahan ibu?”

Handoko menatap Suprih. Wanita setengah tua itu menatapnya dengan memelas.

“Bukan yu, bukan karena kamu. Dia memang begitu, tapi itu bukan karena kamu. Pergilah dan lakukan tugasmu, seperti Mirah melakukannya.”

“Terimakasih bapak.. saya tidak mengira, bapak sangat baik...”

“Tidak yu Suprih, saya melakukan apa yang orang lain juga melakukannya.”

Suprih berdiri dan beranjak kebelakang. 

Mirah sedang menata makan malam dimeja, tapi ia belum mau memanaskannya karena belum sa’atnya makan malam.

“Nak Mirah, ternyata bapak Handoko itu sangat baik.”

“Iya bu, memang beliau sangat baik.”

“Aku heran, bu Palupi sama suami kok berani berkata kasar begitu ya, padahal suaminya sedang sakit.”

“Iya bu, saya juga heran.”

“Tadinya aku takut. Tampaknya bu Palupi mencari pembantu tanpa sepengetahuan suaminya, jangan-jangan aku diusir. Untunglah tidak.”

“Iya bu, tak mungkin pak Handoko melakukan hal kejam seperti itu.”

“Disini sudah ada nak Mirah, mengapa ya bu Palupi mencari pembantu lagi?”

“Bu Palupi tidak suka sama saya bu.”

“Masa? Kenapa?”

“Entahlah bu, saya juga tidak mengerti. Kemarin saya sudah pergi dari sini, maksud saya agar bu Palupi senang karena yang dibencinya tidak ada. Tapi bapak menjemput saya, mengajaknya kembali, karena mas Bintang rewel mencari-cari saya.”

“Oh, rupanya nak Mirah sudah lama ikut di keluarga ini?”

“Sudah sejak mas Bintang belum lahir, pak Handoko dan bu Palupi masih pengantin baru.”

“Oh, sudah sangat lama, pantesan mas Bintang nggak mau pisah sama nak Mirah.”

“Yu MIraaaah...”

“Ya mas Bintang, sini.. yu Mirah ada didapur.”

Bintang berlari-lari kecil  menuju dapur.

“Ada apa ?”

“Kata bapak, mobilnya tidak bisa dipasangin roda lagi. Besok kita beli mobil lagi saja.”

“Oh, iya.. memang sudah rusak mas Bintang, makanya yu Mirah juga tidak bisa membetulkannya.”

“Ini siapa ?”

“Ini namanya bu Suprih.”

“Ibunya yu Mirah?”

“Bukan, ini akan membantu yu Mirah disini.”

“Sini, salaman dulu sama bu Suprih..” kata Suprih sambil mengulurkan tangannya.

Bintang mengulurkan tangannya, lalu berlari kembali kekamarnya.

“Ganteng sekali..”  gumam Suprih.

“Iya bu. Ya itulah yang menyebabkan saya sanggup kembali kerumah ini. Kalau tidak ya lebih baik pergi.”

“Apa bu Palupi itu galak?”

“Saya nggak tahu bu, tapi kalau sama saya ya agak keras, namanya orang tidak suka. Kalau sama orang lain saya nggak tahu.”

“Aku juga belum tahu banyak, baru ketemu sebentar tadi pagi itu. Setelah menyuruh aku bersih-bersih lalu dia pergi.”

“Semoga dia baik sama bu Suprih. Sekarang saya mau mandi dulu ya bu. Sudah selesai semuanya.”

“Ya nak, habis itu aku yang mandi.”

***

“Danaaang..” panggilan Palupi ketika menelpon Danang.

“Ada apa sih mbak, keras banget, kupingku sampai sakit nih.”

“Aku mau ketemu kamu.. sekarang..”

“Wah, kalau sekarang nggak bisa mbak, aku mau pulang sore karena harus mengantar ibu ke dokter.”

“Memangnya ibu sakit apa?”

“Tidak sakit apa-apa, biasa, kontrol sebulan sekali.”

“Apa tidak bisa besok kontrolnya?”

“Ya nggak bisa mbak, jadualnya hari ini.”

“Aduuh...”

“Kenapa sih, ada yang menggigit?”

“Danaaang..”

“Kok aduh itu kan berarti kesakitan?”

“Memang aku sakit Nang.. sakit sekali..”

“Ada apa lagi, cantik.”

“Mas Handoko mengancam akan menceraikan aku..”

“Waduh... gawat itu.”

“Kamu bercanda sih Nang, aku benar-benar ingin ketemu kamu.”

“Kalau urusannya dengan mas Handoko, mengapa harus ketemu aku mbak?”

“Hanya kamu yang bisa menghibur aku Nang, aku bakalan nggak bisa tidur kalau tidak ketemu kamu.”

“Memangnya aku ini obat tidur?”

“Nang, aku serius nih...”

“Iya mbak, tapi besok saja ya, aku tidak bisa sore ini, ibu sudah menunggu.”

“Apa simbok nggak ada?”

“Simbok sih ada, apa ya aku tega membiarkan ibuku ke dokter hanya sama simbok. Aneh mbak Palupi ini.”

“Kalau begitu nanti sehabis pulang mengantar ibu.”

“Aduuh, mbak Palupi sukanya maksa ya..”

“Tolong Nang.. “

“Ya sudah nanti, tapi kalau antrinya banyak bisa malam, belum nanti ngantri di apotik.”

“Pokoknya aku tunggu. Kalau sudah selesai kabari aku, tengah malam juga nggak apa-apa.”

“Masa tengah malam aku harus menculik isteri orang.”

“Jangan banyak alesan Nang, pokoknya aku tunggu. Kabari kalau sudah selesai.”

Palupi langsung menutup ponselnya, membiarkan Danang yang sudah mau angkat kaki dari kantornya kemudian termenung beberapa sa’at lamanya.

Danang suka kalau hanya diajak bersenang-senang, menikmati dinginnya malam sambil bercanda, tapi kalau harus mendengar keluh kesah.. Danang sungguh merasa keberatan. Memang Palupi tidak ingin melakukan hal yang melewati batas bersama adik iparnya, dan Danangpun juga tak mau., boleh sih kalau hanya sekedar menemani jalan.. makan..tapi ketika mendengar bahwa Palupi sedang galau karena diancam cerai oleh suaminya, Danang lebih baik angkat tangan.

Mengapa Palupi selalu ingin bersama Danang, karena hanya Danang yang tidak pernah mencelanya. Hanya Danang yang selalu memujinya. Sementara yang lain, bahkan sahabatnya sekalipun juga pasti menyalahkannya.  Sebenarnya Palupi ingin mendekati Ryan, tapi celakanya Ryan pun juga menyalahkannya. Palupi selalu merasa kehilangan pegangan. Kalau ada masalah bukan menjadikan pelajaran agar dia bersikap lebih baik, tapi justru membuatnya marah dan kesal. Lalu rasa kesal itu sekarang dilarikannya kepada Danang. Hanya dia yang dianggap bisa menghiburnya.

***

“Kok lama sih Nang, katanya mau pulang agak sorean. Ibu sudah menunggu dari tadi,” tegur bu Ismoyo yang sudah menunggu diteras.

“Ma’af bu, tadi sudah mau pulang, mbak Lupi menelpon.”

“Ada apa?”

“Biasa bu, mbak Lupi itu kalau sedang suntuk, pasti mencari Danang.”

“Memangnya kamu bisa apa kalau dia yang lagi suntuk lalu mencari kamu?”

“Danang kan bisa menghibur dia?”

“Apa maksudmu menghibur Nang? Kamu jangan main-main. Kalau ada masalah di keluarga kangmasmu, kamu jangan mencampuri urusannya.”

“Tidak bu, mbak Lupi paling hanya mengajak makan, jalan-jalan, ngobrol..”

“Itu tidak benar. Kalau ada kesempatan bertemu lalu dia berkeluh tentang suaminya, kamu justru harus memberi dia nasehat. Kok malah menghibur, nanti keterusan nggak baik jadinya.”

“Danang juga nggak mau bu, apalagi tadi katanya dia suntuk karena mas Handoko mau menceraikan dia.”

“Sampai begitu ?”

“Iya, makanya Danang menolak.”

“Bagus, jangan lagi mau kalau dia berkeluh ke kamu. Kalau dia menelpon, bilang kamu sedang sibuk atau apa, sungguh ibu tidak suka. Tapi besok ibu akan kerumah kangmasmu, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Ya sudah, ayo ibu berangkat sekarang atau nanti?”

“Ya sekarang Nang,  pasti sudah banyak yang ngantri ini.”

***

“Supriiih..” Palupi berteriak.

Suprih terburu-buru mendekat, padahal sedang membantu Mirah memanasi sayuran untuk makan malam. Bintang sudah merengek lapar.

“Ya bu..”

“Sini, masuklah.”

Suprih masuk kekamar.

“Tutup pintunya.”

Suprih menutup pintu kamar, ia mengira Palupi ingin dipijit lagi kakinya.

“Kamu lagi ngapain ?”

“Membantu nak Mirah memanasi sayur bu.”

“Tidak usah dibantu. Keenakan begundal itu kalau dibantu. Memangnya aku cari pembantu untuk membantu dia?”

“Tapi saya tidak enak kalau diam saja,” kata Suprih, yang sebenarnya agak miris mendengar ndara putrinya menyebut ‘begundal’.

“Sudah, jangan hiraukan dia. Aku beri tahu ya, dia itu mau merusak rumah tanggaku.”

“Merusak bagaimana bu?”

“Merusak itu ya merusak. Dia merayu suami aku.”

“Astaga...”

“Memang iya, makanya aku membenci dia.”

Suprih terdiam. Rasanya Mirah tidak seperti itu.

“Kamu mau uang?” kata Palupi sambil menunjukkan beberapa lembar ratusan ribu didepan hidung Suprih.

***

Besok lagi ya.

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15