SANG PUTRI 14

SANG PUTRI  14

(Tien Kumalasari)

 

Suprih menatap lembaran-lembaran ratusan ribu yang berkibar didepan hidungnya dengan bingung.

“Ibu, apakah ini gaji saya? Saya belum melakukan apa-apa, apakah gaji dibayarkan dimuka?”

“Bukan Suprih, aku bilang, apa kamu mau uang ini?”

“Kalau saya tidak tahu uang apa, mohon ma’af saya tidak mau bu.”

“Bodoh !!” mata Palupi membulat karena kesal.

“Bagaimana bu..”

“Ini uang aku berikan sama kamu,  sok kaya kamu ya.”

“Bukan begitu, kalau diberikan itu sebagai gaji, saya akan terima.”

“Aku berikan cuma-cuma, bonus. Mengerti bonus tidak kamu?”

“Tidak bu.”

“Waduh. Apa semua pembantu bodoh seperti kamu?”

Suprih diam. Tapi dalam hati Suprih mengeluh. Ndara putri ini wajahnya cantik tapi mulutnya tajam seperti pisau. Kalau bukan karena membutuhkan pekerjaan maka Suprih tidak akan suka diperlakukan seperti itu.

“Prih, ini aku berikan kepada kamu hanya sebagai ungkapan terimakasih karena telah melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Mengerti?” katanya lalu meletakkan uang itu ditangan Suprih.

“Tapi melakukan pekerjaan rumah itu kan sudah kewajiban saya bu?”

“Sudah terima saja dan simpan uang kamu. Sekarang keluarlah, lalu ambilkan makan  malamku kemari,  Aku mau makan dikamar saja.”

“Ini...” Suprih masih ragu-ragu tentang uang itu.

“Bawa dan simpan untuk kamu.” Kata Palupi sambil melotot marah.

Suprih tak berani menjawab lagi. Ia berdiri dan keluar dari kamar sambil menggenggam uang itu.

“Jangan lupa bawa makan malamku kedalam kamar.”

“Baik bu,” kata Suprih sambil menutupkan lagi pintunya dan beranjak kedalam kamarnya untuk menyimpan uang itu dengan perasaan tak nyaman.

Lalu dia pergi kedapur untuk membantu Mirah.

“Sudah selesai bu, saya mau bilang sama bapak, dan mengajak mas Bintang makan.”

“Nak, tadi bu Palupi minta supaya makannya dibawa kekamar. Bagaimana?”

“Oh, ya ambilkan saja bu, mangkuk untuk nasi, mangkuk untuk sayur, dan piring sendok, ini semua sudah ada dimeja makan.”

“Oh baiklah, aku ambil baki dulu. Mengapa ya, bu Palupi nggak makan saja disini sekalian.”

“Biarkan saja, dan turuti semua kemauannya bu, kalau tidak nanti bisa rame. Ini bu, mangkuk untuk sayurnya, saya mau bilang  bahwa makan malam sudah siap.”

“Ya nak, saya melayani bu Palupi dulu.”

Suprih penyiapkan nasi lauk pauk dan minuman yang diletakkan di baki besar, lalu dibawanya kekamar Palupi.

“Bagus, aku juga sudah lapar. Hm, siapa yang masak?”

“Tadi nak Mirah beli masakan jadi bu, belum masak hari ini.”

“Baiklah, sekarang duduk disitu dan tungguin aku makan ya.”

Palupi menyantap makanan yang disiapkan diatas meja. Suprih duduk dilantai dengan beribu pertanyaan memenuhi benaknya. Keluarga apa sebenarnya ini? Yang laki-laki begitu santun dan bersikap sangat manis, sementara perempuannya seperti  Bathari Uma.  Bidadari berwajah raseksi yang kasar dan kejam.

“Hm.. kurang asin, tolong ambilkan garam Prih,”  perintah sang Bathari  sambil mengunyah makanannya.

Suprih berdiri, bergegas kebelakang. Diruang makan dilihatnya sang tuan yang tampan sedang makan bersama anak lelakinya yang ganteng. Mirah sesekali meladeni Bintang, mengambilkan apa yang diinginkannya. Begitu damai dan nyaman.

“Ada apa Prih?” tanya Handoko.

“Ini bapak, ibu ingin diambilkan garam. “

“Oh, ini bu Suprih, garamnya disini,” kata Mirah yang kemudian mengambilkan botol kecil berisi garam lalu diberikannya pada Suprih.

Suprihpun bergegas kembali kekamar Palupi.

Handoko geleng-geleng kepala dengan sedih.

“Keluarga seperti apa ini,” gumamnya pelan.

“Apa bapak?” celetuk Bintang.

“Ini... ikannya enak..” jawab Handoko.

“Bintang juga suka itu bapak.”

“Bagus.. makan yang banyak ya nak?”

***

Sudah jam delapan lebih ketika Danang dan bu Ismoyo memasuki rumah setelah kontrol ke dokter dan membeli obat sekalian di apotik.

“Capek ya Nang..”

“Ibu segera istirahat dulu. Tadi dokter bilang apa... ibu tidak boleh terlalu capek, tidak boleh banyak pikiran.. tidak boleh sedih.. harus selalu gembira.”

“Iya.. iya..”

Lalu tiba-tiba ponsel Danang berdering.

“Dari siapa Nang?”

“mBak Lupi...”

“Mana, biar ibu yang angkat.

“Danaaang, sudah pulang belum, aku nungguin  nih.”

“Nungguin apa?” sahut bu Ismoyo.

Oh, ibu?” Palupi sangat terkejut.

“Iya, kenapa? Danang sedang kebelakang, ada pesan apa, nanti ibu sampaikan.”

“Anu bu.. m.. hanya.. hanya..”

“Hanya apa? Kamu mau mengajak Danang kemana ? Kamu itu ya, menurut ibu kok ya tidak segera mengerti. Pikirkan rumah tangga kamu, jangan sampai berantakan. Menikah belum sepuluh tahun sudah kacau seperti ini.”

“Ibu, jangan memarahi saya dong bu, mas Handoko itu yang tidak suka lagi sama Lupi, dia lebih suka sama pembantunya.”

“Masa iya? Kamu lebih cantik, terpelajar, pintar, bagaimana mungkin seorang laki-laki memilih perempuan desa yang sederhana, tidak bisa berdandan, tidak pintar..?”

“Buktinya apa, mas Handoko lebih suka dia.”

“Apa itu bukan karena kamu? Mana mungkin seorang wanita cantik dan pintar bisa dikalahkan oleh seorang perempuan sederhana, dari dusun, dan pasti baunya tidak wangi seperti kamu.”

“Kok Lupi lagi yang salah sih bu?”

“Karena hanya seorang isterilah yang bisa mengendalikan polah suaminya.”

“Bagaimana itu bu?”

“Kalau kamu bisa menjadi isteri yang baik, ibu yang baik, ratu rumah tangga yang baik, maka kamu tidak akan bisa dikalahkan oleh seorang pembantu. Mengerti maksud ibu?”

Tapi Palupi tampak tidak bisa menerima apa yang dikatakan mertuanya. Ponsel ditutup tiba-tiba, dan itu menimbulkan kemarahan bu Ismoyo.

“Dasar wanita tidak tahu diuntung,”omelnya sambil meletakkan ponselnya dimeja.

“Bagaimana bu?”

“Kurangajar dia, aku ini mertuanya, bicara belum selesai sudah ditutup. Pasti dia tidak suka ibu mengomeli dia.”

“Danang kan sudah bilang, mbak Palupi itu tidak pernah mau disalahkan. Dia tidak pernah sadar dimana letak kesalahannya, dan dengan demikian dia tidak akan bisa merubah tabiat buruknya.”

“Sakit dada ibu.”

“Ya sudah bu, ibu istirahat saja, tidak usah mempedulikan mbak Palupi.”

“Mana obatku, aku harus segera minum supaya tidak keburu sesak nafasku.”

“Ini bu, yang diminum malam ini. Tapi kan ibu belum makan?”

“Iya, biar ibu makan dulu sedikit.”

Danang walaupun selengekan menurut Handoko, tapi dia sangat menyayangi ibunya. Ia tak lagi mempedulikan ajakan Palupi, justru sangat menghawatirkan keadaan ibunya yang baru saja mengatakan dadanya  sakit.

Ia menuntun ibunya keruang makan, dimana sebelum pulang simbok sudah menatanya dimeja.

“Ibu makan dulu, ini obatnya Danang siapkan.”

“Menyesal aku tadi mengangkat telpon dari dia. Dan kalau memang dia tidak bisa diperbaiki, biarkan saja kangmasmu menceraikannya,” kata bu Ismoyo sambil menyendok nasinya.

“Ibu, janganlah makan sambil marah-marah. Sudah biarkan saja dia, jangan difikirkan lagi.”

“Besok kalau kamu mencari isteri, harus yang bener-bener bisa menjadi isteri.”

“Iya bu, sudahlah bu. Hm, masakan simbok ini selalu enak ya bu,” kata Danang berusaha mengalihkan kemarahan ibunya terhadap Palupi.

“Tentu saja enak. Kan ibu yang ngajarin.”

“Besok kalau Danang punya isteri, ibu juga harus mengajari dia masak ya bu, supaya masakannya enak seperti masakan ibu atau simbok.

“Lalu kapan kamu mau punya isteri Nang, ibu ini sudah semakin tua.”

“Iya bu, sabarlah, Danang mau mencari dulu gadis yang benar-benar baik, dan menyayangi serta menghormati ibu.”

“Segera cari, nggak pake lama.”

Danang tertawa.

Lalu tiba-tiba ponselnya berdering lagi.

“Nggak usah diangkat.” Kata bu Ismoyo yang kembali merasa kesal.

“Bukan bu, ini dari teman.”

“Ya Bob? Lagi makan nih... malam ini? Enggak lah, aku harus menemani ibu aku. Tidak, tidak sakit, tadi baru pulang kontrol dari dokter. Oke, trims Bob.”

“Kamu sebenarnya mau pergi malam ini?”

“Tidak bu, Danang sudah bilang tidak.”

“Kamu juga harus mengurangi kesukaan kamu keluyuran malam-malam. Nanti kalau keterusan, pasti isterimu marah-marah melihat kelakuan kamu."

“Iya bu, Danang janji, hanya kadang-kadang saja.”

“Kalau bisa ya sama sekali tidak, jangan hanya kadang-kadang. Orang mau berbuat baik kok nawar.”

Danang tertawa.

“Ya nggak apa-apa bu, sesekali main.. masa tiba-tiba jadi perjaka pingitan?”

“Hm.. dasar kamu tuh. Mana obatnya tadi?”

“Itu, sudah Danang siapkan didekat minuman ibu.”

***

Palupi sangat kesal ketika tadi menelpon Danang justru diangkat oleh ibu mertuanya. Padahal ia ingin pergi malam ini.  Lalu dengan nekat ia menelpon lagi. Sa’at itu sudah jam sembilan lebih.

Tapi Danang tak mengangkat telponnya. Ia sudah berjanji pada ibunya bahwa tak akan keluar malam ini. Lagi pula dia tak ingin terbebani dengan masalah kakak iparnya.

Palupi membanting ponselnya keatas kasur, lalu menghempaskan tubuhnya disana dengan kesal.

“Supriiiih,” teriaknya.

Suprih yang sedang makan didapur bersama Mirah kemudian meninggalkan piringnya, lalu berlari kekamar ndara putrinya.

“Ya bu..”

“Lagi ngapain kamu?”

“Lagi... makan bu,”

“Mengapa dari tadi belum makan juga?”

“Baru membantu bersih-bersih dulu bu, baru makan.”

“Dengar ya Prih, kamu itu tidak mendengar kata-kataku. Aku kan sudah bilang bahwa kamu tidak usah membantu pekerjaan Mirah. Biasanya juga dia mengerjakannya sendiri, mengapa kamu harus membantu?”

“Lha kalau saya tidak boleh mambantu lalu pekerjaan saya apa bu?”

“Kamu turuti saja perintahku, abaikan yang lainnya.”

Suprih tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.

“Ya sudah, selesaikan makan kamu, lalu kemari. Aku minta dipijit sampai aku tertidur ya.”

“Baik bu.”

Suprih meninggalkan kamar Palupi dengan rasa heran yang tak habis-habisnya. Ketika dia sampai didapur, ternyata Mirah masih menunggu dimeja dan belum menghabiskan makannya.

“Sudah bu Suprih?”

“Disuruh menyelesaikan makan dulu, habis itu harus mijitin sampai ibu tertidur.”

“Waduh.”

“Ya sudah, mau bagaimana lagi, terpaksa harus dijalani. Tapi kalau begini terus, suasana jadi nggak enak, Barangkali aku juga tidak akan betah lama-lama bekerja disini nak,” kata Suprih sambil menghabiskan makanannya.”

“Sabar bu, kan baru sehari, siapa tahu lama-lama nanti juga akan jadi terbiasa.”

“Entahlah nak. Kamu tahu tidak, tadi siang aku diberi uang limaratus ribu.”

“Lhoh, itu gaji untuk bu Suprih?”

“Bukan. Aku diberi cuma-cuma, katanya hanya untuk ucapan terimakasih. Itu bukan gaji katanya.”

“Oh, rejeki berarti bu. Terima saja.”

“Tadinya aku menolak, ibu mencak-mencak.”

“Ya sudah bu, diterima saja. Mungkin bu Suprih akan lebih capek, tapi ada imbalannya. Ya kan?”

“Hm.. entahlah nak. Sudah, mana piringnya, biar aku yang nyuci.”

“Jangan bu, biar saya saja.  Bukankah bu Suprih ditunggu ibu? Nanti kalau marah-marah bagaimana?”

Suprih meleletkan lidahnya, mengambil air minum lalu bergegas kembali kekamar Palupi.

***

“Sudah cuci tangan ?” tanya Palupi ketika Suprih sudah berada didalam kamarnya.

“Sudah bu.”

“Bersih ?”

“Bersih bu.”

“Ya sudah, pijitin aku, pakai minyak yang ada dimeja itu, biar anget. Aku sedang suntuk.”

Suprih tak menjawab, langsung mengambil minyaknya dan digosokkan dikaki Palupi yang putih bersih dan lembut.

“Aku ingin memperingatkan kamu sekali lagi. Hati-hati dekat dengan Mirah.”

“Memangnya kenapa bu?”

“Dia itu kelakuannya tidak baik. Hati-hati kalau kamu punya barang berharga. Kamu harus menjaganya dengan rapi.”

Suprih tak menjawab. Sungguh ia tak bisa mempercayai apa yang dikatakan Palupi. Pasti dia menjelek-jelekkan karena memang tidak suka.

“Menurut kamu dia baik?”

Aduh, kalau ngomong terus kapan tidurnya? Bukankah dia menyuruh memijit sampai tertidur?

“Prih, aku bertanya sama kamu.”

“Ya bu.. bagaimana?”

“Astaga, kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan ?”

“Ma’af bu, sambil mengantuk,” jawab Suprih sekenanya.

“Ngantuk? Jam segini sudah ngantuk ?”

“Iya bu, ma’af, kebiasaan di kampung.”

“Kamu punya anak?”

“Satu bu, perempuan.”

“Sekolah?”

“Sudah kuliah bu.”

“Wouww.. hebat .. kamu bisa membiayai kulian anak kamu.”

“Dia itu, alhamdulillah agak pintar, sehingga mendapat bea siswa. Jadi ya saya hanya mengeluarkan biaya sedikit . “

“Oo, itu sebabnya kamu ingin bekerja lagi.”

“Saya di Jakarta ikut putranya bu Dewi. Tapi pulang karena anak saya sudah dewasa, tidak sepantasnya saya tinggalkan sendiri dirumah. Tapi kan saya tetap butuh uang, untuk makan, untuk beli buku-buku Tanti. Jadi ya tetap mencari pekerjaan, tapi yang tidak terlalu jauh, sehingga bisa pulang seminggu sekali, kalau ibu berkenan.”

“ Nggak apa-apa kalau kamu ingin pulang seminggu sekali.

“Terimakasih bu.”

“Untunglah aku segera menemukan kamu. Nggak bisa aku diladenin Mirah. Nggak suka sama kelakuannya aku.”

Supri kembali diam.

“Besok berikan saja uangmu untuk uang saku anakmu. Itu lho, uang yang aku berikan sama kamu itu.”

“Iya bu. Terimakasih.”

Lalu Palupi terdiam. Suprih bersyukur, tampaknya Palupi mulai mengantuk.

***

“Bapak, saya nanti mau belanja. Kebutuhan dapur habis semua,” kata Mirah pagi itu.

“Oh iya, tentu saja. Tapi kan Bintang merengek minta dibelikan mobil seperti yang rodanya lepas kemarin. Jadi sekalian saja, nanti kalau sudah siap aku panggilkan taksi.”

“Oh, baiklah bapak.”

Lalu Mirah beranjak kebelakang. Namun dibelakang ia bertemu Palupi yang sudah rapi sehabis mandi.

“Ibu mau makan dulu? Saya baru membuat nasi goreng, karena belum sempat  belanja.”

“Tidak, aku sama Suprih saja.”

“Baiklah.” Mirah menghela nafas, kecewa, walau sebenarnya dia sudah tahu kalau Palupi pasti menolak pelayanannya.

“Supriiiih.”

Suprih yang baru selesai mandi bergegas menghampiri.

“Ya bu.”

“Bawa sarapanku kekamar ya.”

“Baik.”

“Ibu nanti ingin dimasakkan apa?” Mirah masih berusaha berbaik hati.

Tapi Palupi tak menjawab, terus berlalu kekamarnya.

“Kok begitu ya nak, sikapnya.”

“Tidak apa-apa bu, biarkan saja. Oh ya bu, saya nanti mau belanja, tapi bapak mau sekalian beli mainan untuk mas Bintang, sudah rewel dari tadi.”

“Oh ya, nggak apa-apa, biar aku dirumah saja, sambil bersih-bersih.”

“Ya bu. Itu kalau mau mengambilkan sarapan untuk ibu, hanya ada nasi goreng sama telur ceplok dimeja. Ada kerupuknya juga.”

“Iya nak, terimakasih.”

Selesai sarapan, Bintang sudah merengek-rengek ingin segera pergi.

“Sebentar Bintang, bapak sudah memanggil taksi. Mirah sudah siap?”

“Sudah bapak.”

Palupi mencibir ketika melihat Mirah menggandeng Bintang lalu pergi bersama suaminya.

“Lihat itu Prih, Mirah itu lagaknya kan seperti nyonya besar. Pergi sama suami dan anak orang, kelihatan sangat bangga.”

Suprih tidak menjawab. Menurutnya Mirah tidak berlagak seperti nyonya besar. Pakaian dan dandanannya sederhana. Ia menggandeng Bintang dan berjalan dibelakang tuan gantengnya.

“Namanya orang tidak suka, semuanya tampak buruk,” Suprih hanya membatin.

“Oh ya Prih,  aku kan mau pergi, bagaimana kalau kamu sekalian pulang sambil membawa uang untuk anak kamu? Biar anak kamu senang, bisa punya uang saku untuk kebutuhannya.”

“Oh, bolehkah bu?”

“Berangkatnya bareng sama aku, aku turunkan kamu didekat rumah kamu, nanti pulangnya naik angkot saja. Untuk ongkos angkotnya nanti aku beri.”

“Baik bu, kalau begitu terimakasih.”

Kali ini Suprih memuji ndara putrinya, karena tampak perhatian sama anak semata wayangnya. Baguslah, bisa segera memberi uang untuk kebutuhan Tanti.

Suprih bergegas kebelakang karena dilihatnya Palupi sudah siap akan pergi. Ia berganti pakaian ala kadarnya, lalu mengambil dompetnya.

“Sudah Prih ?”

“Sudah bu.”

Ditengah pintu Palupi mengulurkan selembar limapuluhan ribu.

“Ini untuk ongkos kamu pulang kemari nanti. Segera masukkan kedalam dompet kamu”

“Baik bu.”

“Jangan dicampur dengan uang yang akan kamu berikan untuk anak kamu.”

“Iya bu.

Suprih membuka dompetnya, tapi tiba-tiba dia terkejut.

“Ada apa Prih, ayo kedepan, sebentar lagi taksinya datang.”

“Tapi bu, uang yang ibu berikan kemarin kok.. tinggal selembar..” kata Suprih bingung.

“Apa? Bukankah kemarin aku beri kamu limaratus ?”

“Iya benar, ini.. tinggal selembar.”

“Kamu tidak lupa menaruh?”

“Saya hanya punya satu dompet untuk tempat uang bu.”

“Tuh kan, aku bilang apa. Hati-hati menyimpan barang-barang kamu, apalagi uang.”

“Maksud ibu?”

“Kan aku sudah bilang kalau Mirah itu bukan orang baik-baik?”

Suprih melongo ditempatnya.

“Ayo kita buktikan!” kata Palupi sambil menarik tangan Suprih kembali kedalam, kekamar Suprih.

***

Besok lagi ya

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15