SANG PUTRI 15

 

SANG PUTRI  15

(Tien Kumalasari)

 

Palupi menarik tangan Suprih dan diajaknya memasuki kamarnya.

“Ini almari siapa?”

“Saya bu.”

“Kamu selalu menguncinya tidak?”

“Tidak bu, habis tidak ada apa-apanya, mengapa harus dikunci?”

“Nyatanya uang kamu hilang..”

“Saya juga tidak mengira bu..”

“Coba, ini almari yang baru ditaruh disini, untuk Mirah ya?”

“Iya bu..”

“Coba kita buka.. barangkali uang kamu disembunyikan disini,” kata Palupi yang kemudian  membuka almari yang memang tidak terkunci itu.

“Semoga uang itu tidak disembunyikan didalam dompetnya. Kalau di dompet ya pasti sa’at ini sedang dibawa,” kata Palupi sambil mengangkat pakaian yang tertumpuk dirak paling atas.”

Tapi Palupi tidak menemukan apa-apa.

“Aneh, kok tidak ada.. disini juga tidak ada.. padahal....”

“Padahal.. bagaimana bu?”

“Mm... itu.. maksudku.. padahal mestinya disimpan dibawah baju-baju ini..”

Suprih terdiam, sayang sekali uang itu tidak ketemu, sementara ia sudah sangat bersemangat akan memberikannya pada anaknya.

“Aneh... sungguh aneh.. “ gumam Palupi berkali-kali.

“Kalau benar diambil dia.. pasti dibawa..” kata Suprih dengan nada kecewa, lalu dia memasukkan kembali dompetnya karena tak jadi menemui anaknya. Ia sisipkan dompet itu dibawah tumpukan baju, bukan seperti semula, hanya tergeletak diatasnya. Tapi tiba-tiba Suprih berteriak.

“Ya Tuhanku....”

Suprih menarik sesuatu dibawah tumpukan baju.. yang ternyata adalah uang empatratus ribu. Ia menariknya dan menunjukkannya kepada Palupi yang tampak diam termangu.

“Ini bu.. ada dibawah tumpukan baju saya.”

“Aneh.. sungguh aneh...” Palupi bergumam tak henti-hentinya.

“Apa saya lupa... entahlah.. yang penting uangnya sudah ketemu. Jadi ikut ibu kalau begitu,” kata Suprih dengan wajah berseri.

Palupi membalikkan tubuhnya tanpa mengucapkan apapun.

“Ma’af bu, apa mungkin saya lupa menaruhnya.. “ kata Suprih yang mengira Palupi kesal karena dia berteriak kehilangan. Suprih juga merasa berdosa karena ia juga menuduh Mirah melakukannya.

Ketika sampai didepan, ternyata taksi sudah menunggu.

Tiba-tiba Palupi berhenti.

“Prih, ternyata aku nanti harus nyamperin teman. Kamu pulang dan pergi naik angkot saja  ya.”

“Oh, baiklah bu, tidak apa-apa.”

Palupi tak mengatakan apa-apa lagi, langsung naik kedalam taksi yang sudah menunggu. Suprih heran wajah Palupi tampak muram. Lalu Suprih merasa bahwa ia menjadi penyebabnya. Belum-belum berteriak kehilangan. Dan yang lebih membuatnya menyesal bahwa dia juga ikut-ikutan menuduh Mirah.

Suprih menghela nafas. Ia mengunci pintu lalu berjalan keluar mencari angkot.

***

Mirah heran ketika dalam perjalanan ke supermarket itu Handoko tampak selalu tersenyum-senyum, sambil sesekali memandangnya.

Mirah meraba-raba wajahnya. Barangkali ada yang aneh, atau ada angus disana? Padahal tak ada angus didapur.

Atau rambutnya? Ia hanya menggelungnya kebelakang, dan tak ada sisa anak rambut melambai dikeningnya. Pensil alis melenceng? Kan dia tak pernah pakai pensil alis karena alisnya sudah hitam. Lipstik meleset? Apalagi. Dan Handoko tetap saja sesekali menoleh kebelakang dan tersenyum lucu.

“Bapak, ada apa?” tanya Mirah yang tak tahan bertanya-tanya terus dalam hati.

“Ada suatu cerita..”

“Bintang juga mau cerita, bapak... mana tante Widi, katanya mau beli buku cerita?”

“Oh, mungkin tante Widi lupa, so’alnya tante Widi kan harus sekolah juga.”

“Kalau begitu nanti kita beli ya, bapak?”

“Siap, ganteng.”

Mirah diam, ia belum mendapat jawaban dari pertanyaan yang diajukannya. Mungkin karena ada Bintang, jadi harus mencari kesempatan yang baik untuk mengatakannya. Yang penting bukan wajahnya yang aneh sehingga membuat tuan gantengnya tersenyum-senyum.

Mereka ketempat mainan, membeli mobil yang dimaksud Bintang, lalu ketoko buku untuk membeli beberapa buku cerita, lalu Mirah merasa kasihan kepada tuan gantengnya karena harus mondar-mandir kesana kemari.

“Bapak, bagaimana kalau berhenti dulu di foodcourt, mungkin mas Bintang ingin makan es krim. Lalu biar saya belanja sendiri.

“Asyiiik, aku mau bapak.. es krimnya,” teriak Bintang.

“Tidak apa-apa kamu belanja sendiri?”

“Ya tidak apa-apa bapak, Mirah kan sudah biasa belanja sendiri.”

“Nanti setelah belanja menyusul ya.”

“Iya bapak.”

Lalu Mirah mengantar dulu mereka ke foodcourt, karena Handoko harus dibantu ketika menaiki eskalator, lalu Mirah meninggalkannya ketika mereka sudah duduk.

Mirah sedang memilih sayur yang akan dibelinya, ketika mendengar seseorang menyapanya.

“Mirah..”

Mirah menoleh dan terkejut, melihat bu Ismoyo sedang belanja juga bersama simbok.

“Ibu...”

“Kamu belanja sendiri Rah?”

“Tidak ibu, mas Bintang dan pak Handoko sedang minum es krim diatas.”

“Oh, bersama Handoko juga?”

“Sebenarnya saya akan belanja sendiri, tapi mas Bintang ingin dibelikan buku-buku cerita dan mainan.”

“Sebenarnya aku mau mampir kerumah. Handoko ternyata ada disini.”

“Apa ibu mau menyusulnya? Mari saya antarkan dulu.”

“Tapi simbok takut naik eskalator.”

“Saya menunggu disini saja bu, sambil melanjutkan belanja,” kata simbok.

“Ya sudah, ayo Rah.. antarkan aku.”

Bintang bersorak senang ketika melihat eyangnya.

“Eyang, ayo minum es krim..”

“Untung eyang tidak langsung kerumah.”

“Ibu sama siapa? Mau minum es krim?”

“Boleh, sedikit saja.. Ibu tadi sama simbok, tapi simbok takut naik, biarkan saja melanjutkan belanja. Sebetulnya ibu mau ngomong sama kamu.”

“Bintang, mana buku ceritanya. Boleh dibuka sekarang kok. Coba lihat, apa Bintang suka..” kata Handoko yang sebenarnya ingin agar Bintang asyik melihat bukunya sehingga tidak mendengarkan apa yang dibicarakan bu Ismoyo dengan dirinya.

“Oh, boleh dibuka disini bapak?”

“Boleh, bisa mengambilnya?”

“BIsa bapak...”

Setelah melihat Bintang asyik membuka-buka bukunya dan sesekali berteriak senang, Handoko menatap ibunya.

“Ibu mau ngomong apa?”

“Apa kamu tahu bahwa isterimu sering mengajak Danang jalan-jalan?”

“Tahu bu..”

“Mengapa kamu diam saja?”

“Saya harus ngomong apa bu, Palupi kan tidak bisa diajak bicara.”

“Kemarin itu, Palupi mau mengajak Danang, katanya lagi suntuk, karena kamu mengancam mau menceraikan.”

“Saya sudah jengkel bu.”

“Tapi Danang menolak. Ibu mengangkat ketika dia menelpon Danang malam-malam, yang katanya sedang menunggunya. Ibu bicara banyak, menasehati dia, tapi dia malah langsung menutup ponselnya. Ibu sangat marah, sampai dada ibu sesak.”

“Ibu, saya mohon ibu tidak terlalu memikirkan Palupi. Dia susah dinasehati. Dia tidak pernah bisa mengerti.”

“Lalu apa benar kamu suka sama Mirah?”

Handoko tertawa.

“Kok tertawa? Iya..? Itu benar ? Palupi mengatakan itu. Dia merasa dikalahkan sama pembantu.”

“Dia sendiri yang membuat suasana seperti itu. Tapi saya hanya memanasi dia bu. Habisnya jengkel melihat ulahnya yang tidak mau mengerti. Coba ibu pikir, karena tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dia mencari pembantu baru.”

“Jadi sekarang ada dua pembantu dirumah kamu?”

“Namanya Suprih. Dia tidak mau dilayani Mirah, hanya Suprih.”

“Keterlaluan dia itu.”

“Palupi sangat membenci Mirah. Ia ingin Mirah pergi. Tapi kan Bintang tidak bisa kalau tidak ada Mirah? Saya mengancam Palupi, kalau sampai menyakiti Mirah maka saya akan menceraikan dia.”

“Oo, itu ?”

“Sekarang ibu tidak bisa menyalahkan kamu. Coba kamu beri dia kesempatan lagi untuk melakukan hal baik untuk keluarganya. Kalau memang tidak bisa, terserah kamu. Danang melarang ibu untuk terlalu memikirkan rumah tangga kamu.”

“Benar, ibu jangan terlalu memikirkan hal berat. Saya bisa melakukan mana yang baik untuk rumah tangga saya.”

“Apa kamu tertarik sama MIrah?”

Handoko tak segera menjawab.

“Iya ?”

“Mirah gadis yang baik. Apakah perbedaan derajat menjadikan seseorang harus berhitung untuk jatuh cinta?”

“Ya sudah, ibu sudah tahu apa yang sebetulnya kamu rasakan. Ibu hanya berharap, anak-anak ibu bahagia.”

***

Handoko baru akan mengatakan apa yang membuatnya tersenyum-senyum ketika tadi ada didalam taksi, ketika Bintang sudah tidur kelelahan.

Sa’at itu Mirah sedang berada didapur, meletakkan semua belanjaan diatas meja. Lalu menatanya ditempat-tempat yang seharusnya, dibantu sama Suprih yang sudah kembali setelah menemui anaknya.

“Ini untuk persediaan ya bu, Lalu sayurnya yang ini dimasukkan kulkas saja. Saya akan memasak sayur bayam saja sama menggoreng ayam. Mas Bintang setiap hari selalu minta ayam goreng.”

“Baiklah, ini yang mau dimasak sekarang ya. Biar aku menyiapkannya.”

“Miraaah..!”

“Sebentar ya bu, bapak memanggil saya,” kata Mirah sambil berlalu.

Handoko duduk diteras, Mirah mendekatinya.

“Ya bapak.”

“Duduklah. Dikursi itu, jangan dilantai.”

“Tapi..”

Karena sungkan Mirah mengambil kursi kecil pendek yang biasanya dipakai Bintang untuk duduk, lalu Mirah duduk disitu, dihadapan Handoko.

“Aku hanya ingin mengingatkan kamu.”

“So’al apa bapak?”

“Ada yang berusaha mencelakai kamu.”

“Mencelakai saya? Membunuh saya?” kata Mirah ketakutan.

“Tidak, maksudku ada yang ingin memfitnah kamu.”

“Maksud bapak?”

“Kemarin, ketika kamu sama yu Suprih sedang makan didapur, aku melihat Palupi memasuki kamar kalian. Karena curiga, aku pura-pura berjalan kebelakang. Ia lupa atau tidak sempat menutup pintunya, sehingga aku melihat apa yang dilakukannya. Ia membuka almari lama, yang pastinya punya Suprih ya?”

“Iya bapak..”

“Ia mengambil sesuatu dari dalam dompet, lalu memasukkannya kedalam almari satunya.”

“Yang satunya itu almari yang saya pakai?”

“Ya.. lalu aku terus membalikkan tubuh dan masuk kekamar Bintang yang tidak jauh dari kamar itu.. Ketika dia sudah pergi, aku masuk kekamar kalian lagi, dan membuka almari kamu, untuk melihat apa yang dimasukkan kedalam almari kamu dari dalam dompet Suprih. Ternyata aku menemukan uang empatratus ribu dibawah tumpukan baju. Rupanya dia ingin agar Suprih mengira kamu mencuri uangnya.”

“Ya Tuhan..” Mirah menutup mulutnya.

“Aku mengambil uang itu dan memasukkan lagi uang itu ke almari Suprih. Sayangnya aku tidak sempat membuka dompet untuk mengembalikannya, jadi hanya aku selipkan dibawah tumpukan baju. Lalu aku keluar lagi.”

“Ibu sangat membenci saya...” keluh Mirah sedih.

“Sudah, kamu tidak usah khawatir. Dan kamu juga harus bersikap biasa, tidak usah mengatakan apapun pada Suprih. Hanya pesanku, kamu harus berhati-hati.”

“Itukah yang membuat bapak tersenyum-senyum didalam taksi tadi?”

“Aku tersenyum karena teringat akan kegagalan orang yang akan memfitnah kamu.”

“Saya sungguh tidak mengira.”

“Suprih mungkin saja baik, tapi ia bisa dijadikan alat untuk menghantam kamu. Itu sebabnya kamu harus berhati-hati. Mungkin ini baru awal.”

Mirah melangkah kebelakang dengan sedih. Sedih karena ada orang yang begitu membencinya sehingga tega memfitnahnya.

“Nak, ini sudah... aku sudah merebus airnya di panci.”

“Iya bu, “

“Nak Mirah kenapa? Kok seperti sedih begitu? Apa dimarahi bapak?”

“Tidak bu, tidak apa-apa,” kata Mirah sambil membuat bumbu ungkep untuk ayamnya.

“Apa aku bersalah nak?”

“Tidak bu, tidak apa-apa. Tadi bapak hanya menanyakan dimana saya menaruh mainannya mas Bintang yang tadi sudah dibeli,” kata Mirah berbohong.

“Sebenarnya aku ini juga sedang sedih nak. Bukan sedih sih, tapi takut..”

“Memangnya ada apa bu?”

“Aku kan sudah bilang, kemarin ibu memberi uang aku limaratus ribu. Pagi tadi ketika ibu mau keluar, aku diajaknya bareng keluar. Ibu menyarankan aku agar uang itu aku berikan kepada Tanti anakku yang masih kuliah.”

“O, anak bu Suprih sudah kuliah?”

“Ya nak, biarpun aku ini hanya pembantu, tapi juga ingin  agar anak satu-satunya itu menjadi orang. Dan kebetulan Tanti diberkahi Allah dengan otak yang cerdas.  Ia masuk perguruan tinggi dengan bea siswa.”

“Alhamdulillah ya bu.”

“Terus karena ibu menyuruh, aku jadi sangat senang, bisa memberikan uang kepada Tanti untuk semua keperluannya. Ya makan, ya buku-buku yang dibutuhkan. Tapi ketika aku membuka dompet, uang limaratus ribu itu tinggal seratus ribu.”

Mirah menatap Suprih. Dia sudah tahu kemana uang yang empatratus ribu itu.

Pikiranku langsung buntu, dan tentu saja kecewa, tidak jadi menemui Tanti untuk memberikan uangnya. Tapi ketika aku ingin menaruh kembali dompet kedalam almari, aku menemukan uangku itu dibawah tumpukan baju.”

“Syukurlah bu..”

“Tapi tampaknya ibu marah, karena aku buru-buru berteriak kehilangan. Karena setelah uang itu ketemu, wajah ibu tampak seperti kesal.”

“Oh ya?”

“Iya nak, terus yang tadinya aku diajak bareng, lalu mau diturunkan dekat rumah, nggak jadi. Aku disuruh naik angkot saja.”

Mirah memasukkan ayam kedalam wajan, lalu memasukkan bumbu yang sudah dibuat.

“Apakah waktu merasa kehilangan, lalu bu Suprih menuduh saya mencurinya?”

Suprih diam sejenak, lalu menghela nafas.

“Nak Mirah, ma’afkan aku ya, sebenarnya pikiran kearah situ itu ada. Tapi sebenarnya juga, aku tidak percaya.”

“Terimakasih bu. Dalam hidup saya, tidak pernah terbersit didalam benak untuk melakukan hal yang tidak terpuji itu. Untuk apa aku setiap sa’at bersujud dihadapan Allah kalau saya juga melakukan perbuatan yang dilarang olehNya ? Bapak sangat mempercayai saya. Uang untuk belanja sehari-hari diserahkan kepada saya dan itu tidak sedikit. Tapi saya selalu mengembalikan sisanya, karena saya mendapat gaji yang cukup.”

“Ya ampun nak, sungguh ma’afkan aku ya.. aku sangat berdosa tadi sempat menuduh yang bukan-bukan,” kata Suprih sambil merangkul Mirah.

“Tidak apa-apa bu, saya bisa mengerti, karena yang ada diruangan itu hanya bu Suprih dan saya.”

***

“Apa? Dia bilang begitu ?” kata Palupi sambil tertawa sinis ketika Suprih memijit kakinya malam itu, lalu mendengar bahwa Mirah tak mungkin melakukannya.

“Iya bu, dia sangat baik dan jujur.”

“Mana didunia ini ada maling yang mengaku Prih?”

“Tapi nak Mirah begitu baik bu..”

“Iya lah, didunia ini semua penjahat pasti berpura-pura jadi orang baik.”

Suprih terdiam.

“Sekarang coba pikir Prih, bagaimana uang limaratus ribu bisa terpisah ? Yang satu seratus ribu masih didalam dompet, yang empatratus ribu bisa berada dibawah tumpukan baju?”

“Mungkin saya lupa menaruhnya bu.”

“Lupa menaruhnya? Coba kamu ingat-ingat, benarkah kamu telah memisahkan uang kamu, yang seratus didalam dompet lalu yang empat ratus  kamu taruh dibawah tumpukan baju ?”

 Suprih tetap terdiam, tapi tiba-tiba dia berfikir. Rasanya dia memang tak pernah memisahkan uangnya. Ia hanya lega karena uangnya tidak jadi hilang. Tapi keberadaan uang yang terpisah itu tidak lagi difikirkannya.

“Ingat tidak? Benar kamu memisahkannya? Kalau kamu tidak memisahkannya, apakah uang itu bisa merangkak sendiri keluar lalu bersembunyi dibawah tumpukan baju kamu?”

Suprih memang tidak merasa memisahkannya.

“Jadi apa yang terpikir oleh kamu?”

“Entahlah bu, saya juga bingung.”

“Pencuri itu mengambilnya, mungkin takut ketahuan, belum jadi memasukkannya kedalam dompet atau almarinya sendiri, lalu memindahkannya dulu dibawah tumpukan baju kamu, yang pastinya kalau ada kesempatan lebih baik dia akan benar-benar mengambilnya.”

Suprih belum mampu berkomentar. Rasanya tidak percaya, tapi bagaimana mungkin uangnya bisa merangkak sendiri keluar dari dompetnya?

“Kamu harus percaya sama aku, dia bukan orang baik-baik. Kan sudah lama dia disini dan aku sudah tahu bagaimana kelakuannya. Aku kesal dan diam, karena dia pandai mengambil hati suami aku. Bahkan suami aku mengancam, kalau aku berani menyakiti Mirah maka aku akan diceraikan olehnya. Itulah sebabnya aku masih menahan diri untuk menegurnya.

Rupanya Handoko kurang cermat dalam menjadi penolong. Masih ada celah untuk mencelakai Mirah.

***

Besok lagi ya

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15