SEPENGGAL KISAH 11
(Tien Kumalasari)
Mimi mengejar brankar yang menuju keruang IGD. Benaknya penuh prasangka bahwa semalam pasti Damar bersama Asri lalu dua2nya sakit.
"Asri.. apa yang kau lakukan bersama tunanganku semalam?" katanya penuh amarah. Asri tak menjawab. Ia kebingungan karena tak tau mengapa Mimi berkata begitu.
"Apaaaa, jawablah Asri!!" Suara Mimi semakin keras.
Perawat yang mendorong brankar itu merasa kesal karena pasien harus segera dibawa ke UGD. "Ma'af mbak, marah2nya nanti saja. Pasien ini harus segera mendapat penanganan." Dan brankar itu didorongnya lagi.
"Heiii !" teriak Mimi.
Tapi pak Marsam yang kesal melihat kelakuan Mimi segera menghampirinya.
"Ada apa nak? Anda siapa?" tanyanya halus.
Tapi Mimi kemudian memandanginya dengan kesal.
"Bapak ini siapa?"
"Saya bapaknya Asri. Anak ini teman sekolahnya? Kok saya belum pernah melihat ya.."
"Huh... tentu saja saya bukan teman sekolahnya. Saya tunangan Damar."
Pak Marsam tertegun. Memang Damar sangat dekat dengan Asri tapi ia tidak tau bahwa Damar punya tunangan. Sehingga ia tak bisa mengucapkan apa2. "Oo..., hanya itu yang diucapkannya.
"Jadi sekarang saya mau tanya, kemana perginya Asri semalam bersama tunangan saya."
Mimi sama sekali tak menaruh hormat pada laki2 setengah tua itu. Ia bahkan merendahkan penampilan pak Marsam yang lugu dan sederhana.
"Kemana? Setau saya Asri tidak pergi kemana mana," jawab pak Marsam polos.
" Mana bapak tau? Bapak juga tidak tau kenapa Asri jatuh sakit kan? Mereka pergi bersama entah kemana dan apa yang mereka lakukan. Sekarang dua2nya jatuh sakit." seakan menceriterakan kebenaran Mimi berkata sambil menuding kearah ruang UGD dimana tadi Asri dibawa.
Pak Marsam melongo.
"Tunggu nak, anak saya Asri dibawa kerumah sakit ini karena tadi dia terjatuh dari tangga."
Sekarang Mimi yang melongo. Jadi dugaannya salah?
Tiba2 pak Suryo yang sejak tadi menunggu didepan loket pendaftaran mendekati Mimi dan menariknya menjauh.
"Apa yang kau lakukan Mimi? Lihat semua orang melihat kearah sini. Mereka seperti melihat tontonan yang menarik," tegur pak Surya. Mimi tak menjawab. Ia sedang menyesali pikirannya yang penuh dengan dugaan dan reka yang ternyata salah.
Tetangga pak Marsam yang tadi menemani kerumah sakit mendekati pak Marsam lalu melihat Mimi dan ayahnya pergi.
"Apakah itu perempuan gila?"
"Entahlah, saya juga bingung. Bagaimana Asri?"
"Sedang diperiksa dan kemungkinan memang tulangnya patah."
"Ohh.. lalu bagaimana?" Pak Marsam tampak cemas.
"Mungkin harus dioperasi."
Kapala pak Marsam tiba2 terasa berat. Seakan palu godam baru saja memukulnya.
Damar yang merasa badannya jauh lebih nyaman berusaha bangkit. Ia melihat pak Marsam dan Asri tergolek dipembaringan tak jauh dari tempatnya dibaringkan.
Perlahan ia duduk lalu turun dari pembaringan. Tapi selang infus masih menempel di tangannya. Damar menariknya dan darah meleleh dari luka bekas jarum infusnya.
Perawat yang melihatnya berteriak.
"Eehh.. maaas...mau kemana?"
"Bapak..." tertatih Damar berjalan mendekati pak Marsam.
"Asri sakit apa?" Damar tampak cemas.
Pak Marsam memandangi Damar. Ia teringat bahwa ternyata Damar sudah punya tunangan. Tadi marah2 menuduh Asri melakukan yang tidak2.
"Asri.. kau kenapa?"
Karena pak Marsam tidak menjawab maka Damar mendekati Asri. Asri pun tidak menjawab. Ia memandangi darah dari pergelangan tangan Damar. Dan sungguh Asri pun merasa cemas.
Melihat ada pertanyaan tanpa jawaban tetangga pak Marsam menjawab pelan.
"Tadi pagi Asri terjatuh dari tangga. Kaki kanannya patah"
Damar terkejut. Dipegangnya kaki Asri yang kemudian menjerit kesakitan.
"Aauuww.."
"Oh.. ma'af.. ma'af.. ini yang patah? Kenapa bisa jatuh Asri"
"Darah... " itu yang dibisikkan Asri melihat darah Damar menetes terus.
Tiba2 seorang suster mendekat.
"Mas, mari aku obati dan bersihkan lukamu."
Damar menurut. Tapi tiba2 Mimi sudah ada diruangan itu.
"Suster, saya sudah bilang pada dokter yang merawatnya, dia akan kami pindahkan kerumah sakit yang lebih bagus.
#adalanjutannya#
(Tien Kumalasari)
Mimi mengejar brankar yang menuju keruang IGD. Benaknya penuh prasangka bahwa semalam pasti Damar bersama Asri lalu dua2nya sakit.
"Asri.. apa yang kau lakukan bersama tunanganku semalam?" katanya penuh amarah. Asri tak menjawab. Ia kebingungan karena tak tau mengapa Mimi berkata begitu.
"Apaaaa, jawablah Asri!!" Suara Mimi semakin keras.
Perawat yang mendorong brankar itu merasa kesal karena pasien harus segera dibawa ke UGD. "Ma'af mbak, marah2nya nanti saja. Pasien ini harus segera mendapat penanganan." Dan brankar itu didorongnya lagi.
"Heiii !" teriak Mimi.
Tapi pak Marsam yang kesal melihat kelakuan Mimi segera menghampirinya.
"Ada apa nak? Anda siapa?" tanyanya halus.
Tapi Mimi kemudian memandanginya dengan kesal.
"Bapak ini siapa?"
"Saya bapaknya Asri. Anak ini teman sekolahnya? Kok saya belum pernah melihat ya.."
"Huh... tentu saja saya bukan teman sekolahnya. Saya tunangan Damar."
Pak Marsam tertegun. Memang Damar sangat dekat dengan Asri tapi ia tidak tau bahwa Damar punya tunangan. Sehingga ia tak bisa mengucapkan apa2. "Oo..., hanya itu yang diucapkannya.
"Jadi sekarang saya mau tanya, kemana perginya Asri semalam bersama tunangan saya."
Mimi sama sekali tak menaruh hormat pada laki2 setengah tua itu. Ia bahkan merendahkan penampilan pak Marsam yang lugu dan sederhana.
"Kemana? Setau saya Asri tidak pergi kemana mana," jawab pak Marsam polos.
" Mana bapak tau? Bapak juga tidak tau kenapa Asri jatuh sakit kan? Mereka pergi bersama entah kemana dan apa yang mereka lakukan. Sekarang dua2nya jatuh sakit." seakan menceriterakan kebenaran Mimi berkata sambil menuding kearah ruang UGD dimana tadi Asri dibawa.
Pak Marsam melongo.
"Tunggu nak, anak saya Asri dibawa kerumah sakit ini karena tadi dia terjatuh dari tangga."
Sekarang Mimi yang melongo. Jadi dugaannya salah?
Tiba2 pak Suryo yang sejak tadi menunggu didepan loket pendaftaran mendekati Mimi dan menariknya menjauh.
"Apa yang kau lakukan Mimi? Lihat semua orang melihat kearah sini. Mereka seperti melihat tontonan yang menarik," tegur pak Surya. Mimi tak menjawab. Ia sedang menyesali pikirannya yang penuh dengan dugaan dan reka yang ternyata salah.
Tetangga pak Marsam yang tadi menemani kerumah sakit mendekati pak Marsam lalu melihat Mimi dan ayahnya pergi.
"Apakah itu perempuan gila?"
"Entahlah, saya juga bingung. Bagaimana Asri?"
"Sedang diperiksa dan kemungkinan memang tulangnya patah."
"Ohh.. lalu bagaimana?" Pak Marsam tampak cemas.
"Mungkin harus dioperasi."
Kapala pak Marsam tiba2 terasa berat. Seakan palu godam baru saja memukulnya.
Damar yang merasa badannya jauh lebih nyaman berusaha bangkit. Ia melihat pak Marsam dan Asri tergolek dipembaringan tak jauh dari tempatnya dibaringkan.
Perlahan ia duduk lalu turun dari pembaringan. Tapi selang infus masih menempel di tangannya. Damar menariknya dan darah meleleh dari luka bekas jarum infusnya.
Perawat yang melihatnya berteriak.
"Eehh.. maaas...mau kemana?"
"Bapak..." tertatih Damar berjalan mendekati pak Marsam.
"Asri sakit apa?" Damar tampak cemas.
Pak Marsam memandangi Damar. Ia teringat bahwa ternyata Damar sudah punya tunangan. Tadi marah2 menuduh Asri melakukan yang tidak2.
"Asri.. kau kenapa?"
Karena pak Marsam tidak menjawab maka Damar mendekati Asri. Asri pun tidak menjawab. Ia memandangi darah dari pergelangan tangan Damar. Dan sungguh Asri pun merasa cemas.
Melihat ada pertanyaan tanpa jawaban tetangga pak Marsam menjawab pelan.
"Tadi pagi Asri terjatuh dari tangga. Kaki kanannya patah"
Damar terkejut. Dipegangnya kaki Asri yang kemudian menjerit kesakitan.
"Aauuww.."
"Oh.. ma'af.. ma'af.. ini yang patah? Kenapa bisa jatuh Asri"
"Darah... " itu yang dibisikkan Asri melihat darah Damar menetes terus.
Tiba2 seorang suster mendekat.
"Mas, mari aku obati dan bersihkan lukamu."
Damar menurut. Tapi tiba2 Mimi sudah ada diruangan itu.
"Suster, saya sudah bilang pada dokter yang merawatnya, dia akan kami pindahkan kerumah sakit yang lebih bagus.
#adalanjutannya#