SEPENGGAL KISAH 58

Hari itu memang hari minggu. Hari masih pagi ketika Bowo bersiap akan menuju rumah Ongky. Ia memang sengaja berangkat pagi, takutnya Dewi akan datang karena menurutnya hari Minggu pasti Bowo libur. Iya sih, memang libur, tapi apa iya kalau libur pasti selalu dirumah? Bowo sudah bersiap pergi ketika pak Prasojo manyapanya.

"Bowo, tidak Minggu tidak Senin kamu selalu berangkat pagi pulang malam akhir2 ini."

"Iya .. bapak kan tau alasannya..?" Keduanya tertawa.

"Jadi orang mbok ya jangan terlalu khawatir begitu. Kalau bapak kok biasa2 saja ya."

"Bapak kan bukan yang mengalaminya, Bowo sedih pak, selalu donor darah itu yang dijadikan alasan." Lagi2 pak Prasojo tertawa ..

"Bapak malah tertawa melihat penderitaan anaknya.." 

"Nggak nak, kamu tidak akan menderta, percaya saja pada bapak."

"Ya.. Bowo percaya/ Ya sudah pak, Bowo pergi dulu.." kata Bowo langsung menuju mobilnya. Pak Prasojo tersenyum, entah apa yang ada dibalik senyum itu.

"Lho.. pergi kemana dia pagi2 begini.." Bu Prasojo tiba2 muncul.

Mobil Bowo sudah melaju keluar dari halaman.

"Kemana dia ?" ulang bu Prasojo.

"Ini kan hari Minggu bu, ya liburan lah.. rekreasi.. cari hiburan.." jawab pak Prasojo sekenanya.

"Bapak tau tidak, akhir2 ini Bowo itu selalu berangkat tergesa gesa, terus pulangnya larut malam. Kenapa dia itu? "

"Anak laki2 pulang malam ya biar saja to bu, mending pulang malam.. daripada pulang pagi" canda pak Prasojo.

"Bapak kok begitu. Ibu mengerti,  bapak mendukung Bowo, tapi ibu tidak mengerti mengapa Bowo belum mau mendekati Dewi. Sesungguhnya Dewi itu kurangnya apa, dia cantik, berpendidikan.. Orang mencari isteri itu kan ya memilih yang terbaik. Ibu tau, Bowo itu kan menghindari Dewi, tapi sudah berhari hari Dewi tidak datang kesini lho, ya sejak dibentak bentak Bowo itu. Dasar nggak sopan. Ibu jadi merasa bersalah sama Dewi."

"Lha mengapa ibu merasa bersalah. Kalau ibu punya anak perempuan, kemudian anak ibu itu tidur dikamar lelaki yang bukan apa2nya, apa ibu suka? "

"Dewi tidur disana itu kan ada alasannya, dia lagi sakit."

"Kalau cuma tidur saja pasti Bowo tidak akan semarah itu. Mungkin Dewi tidurnya nggak sopan, telanjang barangkali." seenaknya pak Prasojo menjawab. 

"Bapak !! " Bu Prasojo kesal sekali. Padahal dugaan pak Prasojo itu hampir benar.

"Dengar pak, orang berhutang budi saja sudah berat memikulnya, apalagi ini berhutang nyawa. Bagaimana menurut bapak? Namanya orang berhutang itu kan harus membayar?"

"Nah ibu tau kalau berhutang budi itu berat, bagaimana sikap ibu terhadap pak Marsam padahal kita juga berhutang budi padanya.?" pak Marsam mencoba mengingatkan perlakuan isterinya terhadap pak Marsam.

"Lho.. bapak itu bagaimana? Dia itu disini kita bayar, ketika sakit kita bayar juga semua biayanya, dan itu tidak sedikit, itu kan sudah balasan namanya."

"Tapi ibu juga membalasnya dengan perlakuan tak pantas."

"Sudahlah pak, ibu tidak mau berdebat so'al Marsam yang sudah tidak ada lagi disini. Hari ini juga ibu bersumpah, ibu hanya akan mengambil menantu anak gadis yang sudah mau mendonorkan darahnya buat ibu.!!!

Bu Prasojo heran. Kali itu pak Prasojo tersenyum, kelihatannya tidak kesal seperti biasanya kalau isterinya memaksakan kehendak. 

"Bagus. Itu bagus sekali,  membalas budi jangan setengah setengah." kata2 suaminya ini mengejutkn bu Prasojo, sekaligus merasa senang. Rupanya suaminya sependapat dengannya sekarang kalau mereka akan mengambil menantu Dewi.

"Jadi bapak sekarang setuju?" tanya bu Prasojo tak percaya.

"Setuju bu, setuju sekali, bahwa menantu kita nanti harus gadis yang telah mendonorkan darahnya pada ibu. Jasanya sangat besar karena berarti dia telah menyambung nyawa ibu."

Bu Prasojo gembira bukan alang kepalang. Ia langsung mengambil ponselnya dan menelpon bu Harlan. Pak Prasojo tersenyum penuh arti.

Pagi itu Ongky sedang menunggu nunggu Bowo. Sahabatnya itu berjanji akan datang pagi2. Tapi sudah jam setengah sembilan belum juga tampak batang hidungnya. Ongky segera menelponnya.:" Hee.. monyong, jam berapa ini? Pasti masih molor kamu kan?"

"Ngawur, aku sudah diperjalanan nih. Tapi ada sesuatu nih pada mobilku, tiba2 ngadat, nggak bisa distarter."

"Waduh.. mengapa mobilmu nggak dibuang aja kelaut? 

"Jemput aku donk.. aku lagi menghubungi bengkel untuk memperbaikinya. Sekarang kamu jemput aku dan kita sama2 kerumah gadis penjual bunga itu."

"Huh, dasar orang suka merepotkan ya kamu nih,"

"Ya sudah, kalau nggak mau aku pulang aja..."

"Eiiittt... tunggu..tunggu.. gitu aja ngambeg. Sebentar, aku keluarin mobil dulu.."

Akhirnya Ongky menjemput Bowo dan membawanya kerumah terlebih dulu. Didepan rumah pak Marsam Ongky menunjuk nunjuk.

"Tuh dia rumahnya.."

"O.. disitu? Benar.. banyak tanam2an disitu." Bowo melongok longok kerumah itu, barangkali gadis yang dimaksud kelihatan dari jalan. Tapi tak tampak seorangpun disana.

"Kemana dia?"

"Mungkin didalam, lagi masak atau apa.."

Ketika keduanya berjalan kerumah pak Marsam, Bowo mereka reka apa yang harus dikatakan supaya gadis penjual bunga itu mau datang kerumah Ongky.

"Langsung saja ngomong kalau ayahku ingin ketemu, gitu?"

"Ya enggak, ide konyol itu, mengapa tiba2 ayahmu pengin ketemu, pasti dia curiga.. dan langsung menolaknya."

"Lalu apa?"

"Begini saja, kamu pura2 membeli bunga, atau tanaman apalah.. dan minta tolong supaya dia mau mengaturnya supaya bisa tertata rapi."

"Waah.. ide bagus itu.. ahaa.. ternyata sahabatku yang terkadang bodoh ini punya ide cemerlang yang harus aku acungi jempol"

Keduanya berjalan dan sudah memasuki pekarangan rumah pak Marsam. Tapi tak tampak seorangpun dihalaman itu, dan pintu rumahnya tertutup rapat.

Ongky mengetuk ngetuk pintunya, tapi tak tampak terdengar sesuatu dirumah itu. 

"Berarti mereka pergi," Ongky mengeluh sedih.

"Ya sudah, sekarang kita balik dulu aja, sebentar lagi kita kembali kesini. Mungkin lagi pada pergi belanja." hibur Bowo. Akhirnya keduanya kembali kerumah Ongky. Ketika mereka datang itu ayah Ongky, pak Darman sedang berdiri didepan pintu.

"Hallo Bowo, lama sekali kita nggak bertemu." sambut pak Darman ramah. Bowo menyalaminya dengan hormat. Dulu sering mereka saling mengunjungi rumah masing2 sehingga kenal baik sekeluarga.

"Ya om, sungguh kebetulan kami bertemu disini. Senang bisa saling berbagi."

"Ayo masuklah, aku sedang punya masalah nih,"

"Masalah apa lagi pak?"

"Tadi aku kerumah notarisnya Marsudi, tapi rupanya Surya telah menyogoknya. Dia berbalik bilang kalau tidak tau menau tentang kepemilikan perusahaan yang aku beli. Dia bilang itu memang miliknya Suya."

"Lho, kok bisa berbalik begitu?"

"Pasti Surya telah menyogoknya , dan aku tidak mau membeli perusahaan yang tidak jelas begini, kalau bisa akan aku minta uangku kembali.Barusan aku menelpon Surya, tapi yang menerima namanya Damar,  kalau tidak salah.. Damar itu anaknya Marsudi. Jadi dia ikut ke Amerika bersama Surya.Entah rencana apa yang akan dilakukan Surya.  Waktu orang tuanya meninggal, Damar itu masih kecil.Ya sudahlah, pokoknya uangku harus kembali."

"Kelihatannya itu sulit pak, uang yng sudah dibayarkan mana mungkin bisa diminta kembali."

"Kalau aku bisa menemukan kecurangan itu Ongky, pasti bisa, tapi aku belum tau bagaimana caranya. Hari ini tolong kamu pergi ke Jogya, aku kasih kamu alamat, dan berikan surat ini, minta tanda tangannya."

"Yaaaah.. ke Jogya?" Ongky kecewa, bukankah ia harus menemui Asri dan membawanya pada ayahnya..?

"Oh ya, gadis penjual bunga itu ya? Nggak apa2, nanti bapak mau kesana dan pura2 membeli bunga. Disitu juga nanti bapak kan bisa tau seperti apa pilihanmu itu.Jangan lupa sore nanti bapak harus kembali ke Surabaya."

"Bowo, mau ikut ke Jogya?" Bowo mengangguk mengiyakan, baginya asalkan tidak berada dirumah, itu menyenangkan.

 

Pak Marsam dan Asri baru pulang dari berjalan jalan, lalu membeli soto kesukaan mereka diwarung dekat pasar. Ketika hampir sampai dirumahnya, mereka melihat mobil Ongky keluar dari halaman. Kalau saja mereka tau bahwa Bowo ada didalam mobil itu...

#adalanjutannyalho"

Previous Post Next Post