Pak Marsam dan Asri baru saja membuka pintu rumahnya ketika dilihatnya seorang laki2 setengah tua, agak gemuk, memasuki halaman rumahnya.
"Selamat siang,"
Hampir bersamaan pak Marsam dan Asri menjawab. :" Selamat siang,"
"Ada yang bisa dibantu ?" lanjut Asri ramah.
Tamu itu adalah pak Darman, ayahnya Ongky. Ia ingin sekali melihat gadis penjual bunga yang diincar oleh anaknya.
"Hm, memang cantik, sederhana, santun, senyumnya manis sekali," pak Darman mengawasi Asri dengan cermat. Asri mengusap pipinya barangkali ada coreng moreng yang mengganggu penglihatan bapak2 itu. Atau membenarkan kerudungnya barangkali tersingkap, tapi tampaknya semua baik2 saja.
"Saya ingin membeli mawar, bukan pohon, tapi bunganya. Boleh?"
"Tentu saja boleh, silahkan pilih yang mana yang bapak suka."
"Aku kan laki2, mana bisa memilih bunga. Bunga itu akan aku berikan kepada seseorang yang menarik hati anak saya."
Meskipun merasa agak aneh tapi Asri memilihkan bunga yang bagus menurutnya, untuk bapak yang murah senyum itu. Asri senang, itu bukan ulah yang tidak sopan. Ia sangat santun dan tampaknya ramah.
"Ini uangnya, kasih bunga seharga uang ini." diulurkannya uang 200 ribu yang diterima Asri dengan heran."
"Sebanyak itu? Setangkai mawar ini hanya 5000 rupiah pak."
"Biarkan saja.. lebih banyak lebih bagus." dan Asripun memilihkan bunga2 itu. Ia melambai kepada ayahnya, memintanya agar membantu.
"Ini bapaknya? tanyanya sambil mengulurkan tangan pada pak Marsam.
"Iya, saya bapaknya, kami hanya hidup berdua saja," jawabnya sambil menyambut tangan laki2 ramah itu dengan hangat, lalu ia ikut memetik beberapa tangkai mawar untuk membantu Asri.
"Sudah punya pacar?" pertanyaan itu mengagetkan pak Marsam dan Asri. tapi laki2 itu tertawa. " Aku tidak bermaksud apa2, cuma tanya saja.Ma'af kalau tidak berkenan."
"Tidak apa2 pak, belum, belum punya, anak orang miskin apa ada yang mau?"
Pak Marsam mengumpulkan bunga2 kemudian ditata rapi oleh Asri, seikat besar, cantik dan indah.. yang kemudian diterima oleh bapak itu sambil tersenyum senang.
"Indah sekali, baiklah... bunga ini sekarang aku berikan untuk kamu," Seikat bunga itu diserahkannya pada Asri.
Asri kaget bukan alang kepalang, tapi sebelum Asri menjawabnya, bapak itu telah melangkah pergi.
Asri masih terbenging sampai laki2 itu menghilang ditikungan rumahnya. Demikian juga pak Marsam.
"Laki2 aneh.." gumam Asri.
"Sangat aneh, dia membeli banyak, yang akhirnya diberikannya pada kamu."
"Tadi itu.. dia juga bilang... bunga ini akan aku berikan untuk seseorang yang menarik hati saya... gitu pak.. terus mengapa diberikannya sama aku?"
"Berarti ya kamu itu yang menarik hati anaknya..."
"Kok aneh, siapa anaknya? Dan siapa bapak2 itu?"
Sambil menata bunganya didalam vas .. Asri terus bertanya tanya dalam hati.. siapa dia.. dan mengapa..?
"Ini hari Minggu, kok mbakyu malah datang kesini. Apa pak Prasojo tidak butuh dilayani?" canda bu Harlan ketika kedatangan tamu sahabatnya.
"Kayak pengantin baru aja.. biasanya juga simbok yang melayani. Saya sudah pamit dan diijinkan juga. Itu lho.. yang saya bilang tadi di telepone.. bapaknya Bowo sudah setuju kalau Dewi jadi menantu keluarga Prasojo. Itu menggembirakan bukan? Saya senang sekali mendengarnya jeng."
"Syukurlah mbakyu, saya ikut senang, tapi dengar2 nak Bowo tidak mau.."
"Belum jeng, lha nanti kalau bapaknya setuju kan dia juga lebih mudah dikasih tau.Selama ini dia mengira bapaknya mendukungnya, ternyata mendukung ibunya.. Sudahlah, jeng pokoknya jeng itu calon besan saya.Wong bapak ibunya sudah setuju kan gampang nanti ."
"Bagaimana ceritanya kok tiba2 pak Prasojo setuju, mbakyu?
"Saya juga nggak tau jeng, biasanya kalau saya ngomongin tentang perjodohan Bowo sama Dewi itu bapaknya kelihatan nggak suka, tapi kok tadi malah senyum2.. dan bilang kalau setuju lho jeng."
"Syukurlah kalau begitu mbakyu."
"Ayo jeng, jalan2 saja.. atau belanja2.. pokoknya senang2 kita bertiga. Dewi mana?"
"Ada didalam... sebentar saya panggilkan."
Ketiganya lalu pergi bersenang senang, sampai sore. Tiba2 timbul keinginan Dewi untuk mengajak bu Prasojo kerumah Asri.
" Oh iya Dewi, ibu ingin sekali tau dimana rumahnya.. ayo kita kesana.. kamu tunjukkan jalannya ya."
Sore itu pak Marsam dan Asri terkejut sekali, ketika tiba2 melihat Bu Prasojo dan bu Harlan datang, bersama Dewi pula. Darimana mereka tau kalau mereka tinggal disitu..
"Heran ya, mengapa aku bisa tau rumahmu? Tapi ya nggak usah takut, kami hanya akan membeli beberapa tangkai bunga.. hm.. bagus2 ya.."
"Silahkan masuk bu.. Dewi juga.." Asri menenangkan hatinya dan mencoba bersikap ramah. Namun bu Prasojo menggoyang goyangkan tangannya tanda menolak.
"Nggak usah, berapa harga setangkai mawarmu ini?"
"Kalau buat ibu, silahkan ambil saja mana yang ibu suka.. "
"Oh ya? Gratis? Hm.. rupanya kamu sudah kaya sehingga menolak pembayaran orang yang ingin membeli bungamu ya."
"Bukan begitu bu, Asri memang ingin memberikannya pada ibu, bukan menjualnya." pak Marsam menyela.
"Ya sudah, nggak jadi saja, aku nggak mau menerima barang gratisan. "
"Bu, besok kalau pas peresmian, bunganya beli dari sini saja, siapa tau dikasih murah." Dewi ikut2an nimbrung.
"Oh, benar, mungkin pertunanganmu sama Bowo dilangsungkan nggak lama lagi, bisa donk pesen disini saja?"
Pak Marsam menghela nafas... rupanya tamu2nya datang hanya untuk merendahkan keluarganya. Tapi pak Marsam tak ingin meladeninya. Terserah mereka mau ngomong apa.
"Bisa ya Asri, besok kalau aku tunangan sama mas Bowo, beli bunganya sama kamu?"
"Boleh... boleh.." Asri menata degup jantungnya. Ia berusaha untuk kelihatan tidak terpengaruh oleh kata2 mereka.
Ketika mereka pergi, ternyata Asri terganggu dengan kata2 mereka. Bowo akan bertunangan dengan Dewi? Yah.. mengapa harus sakit hati? Sejak Bowo menyatakan cintanya bukankah Asri tidah bisa menerimanya karena kadudukan mereka berbeda? Tapi mengapa sekarang ketika mendengar bahwa Bowo akan bertunangan hati Asri merasa sakit bagai ter iris niris?
"Apa kamu mencintai mas Bowo nduk?" tiba2 pak Marsam mengagetkan Asri dan membuyarkan lamunannya.
"Apa..eh.. bapak bicara apa? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memikirkannya? Bukankah bapak selalu bilang bahwa aku harus tau bahwa aku dan mas Bowo bagaikan bumi dan langit?"
"Benar, tapi bapak tak ingin kamu terluka. Kalau kamu ikhlas ya lupakan saja."
"Ya pak, tentu saja. Tapi mengapa mereka tiba2 tau tempat kita ya pak?"
"Itulah, bapak juga heran... jangan2 ketika kamu belanja itu ada yang ngikutin kamu nduk.. "
"Nggak tahu lah pak, Asri juga nggak melihat siapa2 kayaknya. Tapi ya sudahlah pak, saya kira kalau yang tau bu Prasojo atau Dewi, tak mungkin mereka mengatakannya pada pak Prasojo."
"Betul.. itu juga yang difikirkan bapak,"
Ketika itu hari sudah sore, pak Marsam dan Asri beranjak masuk kedalam rumah, dan sa'at itulah mobil Ongky yang baru pulang dari Jogya lewat. Mobil itu memang sengaja diperlambat, karena Ongky ingin melihat gadis penjual bunga yang dipujanya ada diluar rumah.
"Nah itu dia Bowo, itu orangnya," pekik Ongky kegirangan, dan Bowo yang duduk disampingnya ikut melongok kearah yang ditunjuk sahabatnya. Bowo terkejut, ia hanya melihat dari belakang, tapi hati Bowo berdebar debar. Apakah itu Asri? Tapi tak mungkin, mengapa mereka ada disini? Penjual bunga pula...
"Hei, jangan kamu kira aku ijinkan kau juga menyukai gadisku itu, kalau kau lakukan itu, kau berhadapan dengan aku Bowo, nyawa taruhannya."
#adalanjutannyaya#