Pak Prasojo berjalan kearah teras, bu Prasojo berdiri lalu mengikutinya..
"Pak... tunggu pak.. bapak bilang apa?" katanya dengan gugup.
"Bapak bilang apa, ya tadi itu, masak baru saja ngomong sudah lupa.. gimana ibu ini.." jawabnya sambil terus berjalan dan isterinya juga terus mengikutinya.
"Bapak itu kalau bicara serius donk.. ini bukan masalah yang bisa dibuat main2."
"Siapa yang main2? Bapak serius kok, sangat serius!!" lalu pak Prasojo duduk dikursi teras, memandangi sepotong rembulan yang tampak mengambang. Malam itu memang udara sangat cerah. Kalau didalam gerah, diteras itu udara terasa sangat segar. Bu Prasojo ikut duduk disana, persis didepan suaminya.
"Pak.. itu benar? Tapi kok Dewi mengakuinya ya?"
"Ya iyalah, daripada nggak ada yang mengakui. Dari situ ibu kan bisa menilai, seperti apa gadis pilihan ibu itu. Ini kebohongan yang bukan main2 lho. Menyangkut keselamatan seseorang, dan menyangkut rasa terimakasih yang harusnya diberikan kepada siapa. Ibu selama ini salah alamat karena ambisi ibu ingin mengambil manantu Dewi Kalau benar2 kejadian, apakah isteri seperti itu baik untuk anak kita?"
Bu Prasojo terdiam.. seperti memikirkan sesuatu. "Apa itu benar?"
"Coba saja ibu tanya sama dia, benarkah dia yang memberikan donor itu. Lihat wajahnya ketika menjawab. Orang bohong kan kelihatan dari raut mukanya."
"Jadi kalau bukan Dewi, siapa ?"
"Itu bapak belum tau."
"Lha.. bapak belum tau kok bisa ngomong.."
"Bapak tau kalau itu bukan Dewi, tapi bapak belum tau siapa sebenarnya yang benar2 pendonor untuk ibu."
"Darimana bapak tau kalau itu bukan Dewi?"
"Gimana to ibu ini? Coba saja ibu tanya sama dia."
"Kok bapak tau, itu pertanyaannya..." bu Prasojo jengkel karena suaminya tak segera mengatakan bagaimana dia tau kalau Dewi berbohong.
"Golongan darah ibu apa?"
"Bapak kan tau, golongan darah ibu itu O."
"Tapi golongan darah Dewi itu B, bukan O.."
Pagi2 sekali bu Prasojo pergi kerumah Dewi. Kebetulan Dewi sendiri yang membukakan pintu. Dewi heran melihat raut muka bu Prasojo gelap seperti tertutup mendung.
"Ada apa bu?" Dewi merangkul bu Prasojo, tapi kemudian bu Prasojo melepaskannya dengan kasar. Dewi bertambah heran. Sekarang ia tau bahwa bu Prasojo sedang marah sama dia. Hati Dewi berdebar debar.
"Ada apa bu?" Mereka masih berdiri karena Dewi lupa mempersilahkan duduk setelah melihat bu Prasojo tampak marah.
"Katakan dengan terus terang. Sebenarnya apa golongan darahmu?"
"Golongan darah saya....." Aduuh.. celaka.. aku dulu tidak bertanya dulu apa golongan darah bu Prasojo sehingga dulu aku dianggap telah mendonorkan darahku, aduuuh..aku tak bisa menjawabnya sekarang. Batin Dewi.
"Mengapa menjawab golongan darah saja bingung?"
Lalu Dewi merasa bahwa pasti telah ketahuan so'al donor darah itu. Wajah Dewi pucat pasi...
"Jawab, Dewi...!!!!"
"Siapa yang.. mengatakan itu..?"
"Kamu itu gimana , aku bertanya apa golongan darahmu, kok jawabmu begitu.."
Bu Prasojo semakin percaya akan kebohongan yang dilakukan Dewi. Ia marah sekali.
"Ya.. bu.. ma'af.. golongan darah saya... B."
"Nah, kalau begitu kamu seribu kali bohong !!! Bukan kamu pendonor itu. Bukan kamu!!
"Ibu.... ma'afkan..." Dewi terisak...
"Ibu kecewa sama kamu !!
Kemudian bu Prasojo keluar dari rumah itu dan pergi secepatnya.
Bu Harlan yang keluar , heran melihat anaknya menangis.
Ada apa ini? Ibu seperti mendengar suara bu Prasojo.."
"Ketahuan bu..." jawab Dewi sambil menangis."
"Ketahuan apanya?"
"Bahwa bukan aku pendonor darah itu.."
"Ibu sudah menduga, kamu agak kelewatan, kebohongan pasti akan terkuak." Bu Harlan sangat menyesali perbuatan anaknya. Dan Dewi semakin terisak.
Ketika Bowo pulang malam itu, pak Prasojo mengatakan bahwa Bowo tak usah pergi kemana mana sepulang dari kantor, karena ibunya tak akan lagi membicarakan perjodohannya dengan Dewi.
"Memangnya kenapa pak?"
"Aku katakan pada ibumu bahwa bukan Dewi pendonor itu."
"Kok bapak tau?"
"Ya tau lah, bapak gitu lhoh.." pak Prasojo tertawa.
"Simbok menemukan KTP dewi dikolong tempat tidurmu. Dan bapak sempat membaca KTP itu, sehingga bapak tau golongan darah Dewi itu apa.. ternyata bukan O seperti golongan darah ibumu. Mana mungkin seseorang bisa mendonorkan darahnya kepada orang lain yang golongan darahnya berbeda."
Bowo mengangguk angguk.. hatinya senang sekali.
"Lalu siapa sesungguhnya pendonor itu pak?"
"Itu yang bapak tidak tau. Pendonor itu seperti tak ingin diketahui nama dan asal usulnya. Ia pergi begitu saja.
"Benar, tapi kenapa ya?"
"Ada orang yang tak ingin memperlihatan kebaikan yang dilakukannya. Dan pasti dia orang baik. Tapi kau harus tau, ibumu telah bersumpah untuk mengambil menantu orang yang telah mendonorkan darah padanya. Jadi kau tidak bebas memilih calon isteri."
"Apa? Ibu bersumpah begitu? Bagaimana kalau pendonor itu seorang laki2? Masa aku harus menikah dengan sesama laki2?"
Pak Prasojo tertawa. Ya pasti perempuan lah, dan masih muda, kan perawat yang mengambil darahnya itu yang mengatakan."
"Oh ya, Bowo nggak begitu memperhatikan. Mudah2an dia cantik.."Pak Prasojo tertawa, tapi tiba2 angan Bowo kembali mengingat Asri.. mungkinkah ia melupakan Asri dan menikah dengan perempuan pilihan ibunya?
Sejak diberitau ayahnya tentang kebohongan Dewi, Bowo jarang pulang malam, juga jarang kerumah Ongky demi menghindari pertemuannya dengan Dewi. Tapi sore itu sepulang dari kantor, Bowo ingin sekali ketemu Ongky. Tapi sesungguhnya bukan itu alasannya, Bowo terbayang kembali punggung gadis penjual bunga itu, dan ingin tau seperti apa wajahnya. Karena itu ia nanti akan mengajak Ongky kerumah gadis itu dengan alasan ingin membeli bunga. Tapi sebelum sampai kerumah Ongky, Bowo berhenti didepan rumah yang penuh tanaman bunga itu. Hatinya berdebar karena bayangan gadis itu tampak dari kejauhan, memang tidak sedang menghadap kearahnya tapi keinginan untuk mendekat sangat mengganggu pikirannya. Jantungnya berdetak kencang.. tapi ia nekat turun dari mobilnya.
Namun tiba2 sebuah panggilan mengejutkannya.
"Hei, apa yang sedang kamu lakukan disini ?"
Itu suara Ongky, ada nada kurang senang ketika ia mengucapkan itu. Dan tergagap Bowo menjawabnya. :"Ma'af, aku akan membeli bunga untuk ibuku, tapi setelah turun.. aku berfikir apakah aku sebaiknya kerumahmu dulu, begitu." Akhirnya Bowo menemukan kata2 yang entah bisa diterima atau tidak.. ia berharap Ongky bisa mengerti.
"Kalau begitu mengapa kamu berhenti disini, ayo kerumahku dulu."
Ongky menarik tangan Bowo dan mengajaknya masuk kemobil, dan mobil itu berjalan kearah rumah Ongky.
Namun Asri melihat mobil itu, mobil yang sangat dikenalnya, yang sering ia tumpangi setiap pergi dan pulang bekerja.
#adalanjutannyaya#